Bisnis com, BONTANG – Jam menunjukkan pukul 16.00 WITA ketika Tim Bisnis Indonesia Jelajah Sinyal 2023 menjejakkan kaki ke pasar Tanjung Limau di Bontang.
Tampak para pedagang baru memulai aktivitas menyiapkan dagangannya. Pedagang di pasar ini tergolong beragam. Mulai dari sayur-sayuran segar, ikan segar, buah-buahan hingga beragam jajanan khas Kalimantan. Seperti Gogos, Pais pisang dan lainnya.
Pasar tradisional Tanjung Limau yang terletak di Jalan Mulawarman, Bontang, merupakan pasar yang memang dikhususkan buka pada sore hari. Sore itu ada pemandangan menarik yang menyita perhatian Tim Jelajah Sinyal Bisnis Indonesia di tengah hiruk pikuk aktivitas pasar tersebut.
Seorang pria separuh baya bernama Pak Edo dengan celana pendek dan sandal jepit tengah memilih ikan segar dan saat hendak membayar, uniknya dia tak langsung membayar kepada si penjual. Melainkan dia justru meminta penjual tersebut menagihnya ke penjual warung sayur di seberang gerai ikan segar tersebut.
Lantas bergegas ia menghampiri si penjual sayur yang ternyata bernama Niyo. Pria tersebut merogoh kantongnya untuk mengeluarkan smartphone dan meminta Niyo melakukan hal yang sama. Dia membayar dengan melakukan scan QR Code melalui BRImo yang juga dimiliki Niyo.
Kepada Tim Bisnis Indonesia Jelajah Sinyal 2023, Niyo menuturkan di pasar tersebut memang belum banyak yang melakukan transaksi menggunakan kode QRIS. Mayoritas masyarakat masih menjajakan uangnya dengan menggunakan tunai. Bisa dikatakan dialah satu-satunya pedagang yang bisa melayani transaksi digital.
Alhasil, apabila ada pembeli yang sudah mengenalnya, ia tak segan menawarkan bantuannya kepada pembeli yang lebih suka membayar lewat digital dibandingkan dengan secara tunai lewat aplikasi di smartphone nya. Kemudian pedagang dari pembeli tersebut yang akan menagihnya secara tunai.
Pedagang perempuan berusia sekitar 40 tahun tersebut menjadi satu-satunya pedagang yang sudah melek digital tidak terlepas dari latar belakang pekerjaannya yang pernah menjadi salah satu karyawan di perusahaan asuransi. Tak mengherankan kalau dia mengaku sudah khatam soal penggunaan beragam aplikasi digital. Namun untuk pedagang lainnya, dia memang melihat masih dibutuhkannya edukasi dan sosialisasi untuk mulai berlaih ke pembayaran digital.
“Kalau di Balikpapan dan Samarinda itu sudah biasa. Tapi kalau di sini, khususnya pasar ini, hampir tidak ada yang bisa melayani secara digital. Masih pakai tunai semua transaksi. Pada belum mau itu pakai digital,” terangnya.
Keengganan mayoritas pedagang di Pasar Tradisonal tersebut dikarenakan sudah nyaman menggunakan membayar dan menerima dengan tunai. Pasalnya karakteristik masyarakat di sekitar Bontang dan daerah kecil lainnya di sekitar yang datang ke pasar tersebut juga lebih suka membeli banyak secara tunai.
Oleh karena itu, sebagai alternatifnya untuk membantu pelanggan yang cashless dan tak hanya berbelanja di tokonya, dia pun menawarkan untuk melakukan pembayaran lewat dirinya dan agar pedagang tersebut nantinya menagihnya secara tunai.
“Ya tadi bilang aja ke pedagang lain untuk tagih ke saya nanti tinggal scan lewat saya,” tuturnya
Tim Jelajah melanjutkan petualangannya di pasar, kali ini ke pedagang yang menj bualeragam jajanan yang menggoda lidah. Salah satunya adalah “Gogos,” sejenis kudapan beras ketan hitam atau putih yang dicampur santan dan dibakar, menghasilkan aroma wangi dan cita rasa yang unik.
Namun, keunikan jajanan tersebut menjadi sorotan ketika tim berbincang dengan Pak Bone, penjual “Gogos.” Dengan nada cerita yang khas, Pak Bone menyampaikan, “Untuk pakai digital gitu, orang sini kurang mau. Terus kita juga susah kalau cash, harus siapkan uang kecil.” Komentarnya mengungkapkan realitas tantangan dalam bertransaksi di tengah preferensi masyarakat yang lebih suka pembayaran tunai.
Keadaan di pasar semakin menarik ketika tim mengetahui bahwa mayoritas masyarakat Bontang adalah pendatang, terutama dari Sulawesi, yang bekerja di daerah tersebut. Mereka cenderung memilih pembayaran tunai, menimbulkan kesulitan bagi pedagang dalam menyediakan uang kecil sebagai kembalian.
“Orang sini kurang mau digital, tapi kita juga kesulitan kalau cash karena harus siapkan uang kecil," ujar Pak Bone.
Tantangan untuk harus menyediakan uang tunai ini membuat beberapa pedagang di sekitar pasar sadar akan pentingnya beralih ke pembayaran digital, dengan langkah-langkah seperti menggunakan QRIS.
Namun, peralihan ke digital tidak selalu mudah. Seorang pedagang telur, Pak Sendy, menceritakan, “Memang kami sudah ditanya sebelumnya, ‘Pak, bisa QRIS gak?’ Gak bisa, kubilang, belum punya aku.”
Namun, karena permintaan pelanggan yang semakin bertambah, dia meminta anaknya untuk membuat QRIS. Caranya dengan mengajukan ke bank dan saat ini dia tinggal menunggu waktu kedatangan QRIS tersebut.
“Sekarang sudah diajukan, tapi belum keluar juga,” tambah sang anak.
Cerita ini mencerminkan tumbuhnya kesadaran di kalangan pedagang untuk beradaptasi dengan zaman digital, meskipun prosesnya tidak selalu instan.
Dengan begitu, tampaknya masyarakat pasar Limau mulai menyadari pentingnya langkah-langkah digitalisasi. Namun, perlu pendampingan dan penyesuaian yang tepat agar perubahan ini dapat berlangsung sukses dan menyentuh semua lapisan masyarakat dalam waktu yang sesuai.