Bisnis.com, JAKARTA - Para petinggi modal ventura menilai startup yang bergerak di bisnis solusi perangkat lunak (software solution) dan direct to customer (D2C) masih jadi favorit investor saat musim dingin teknologi atau tech winter.
D2C adalah bisnis-ke-konsumen yaitu, proses penjualan produk dan layanan secara langsung antara bisnis kepada konsumen yang merupakan pengguna akhir produk atau layanannya.
Sebagian besar perusahaan yang menjual langsung ke konsumen dapat disebut sebagai perusahaan B2C
Executive Director Vertex Ventures Joshua Agusta mengatakan perangkat lunak diminati karena kemampuannya untuk mengoptimasi pekerjaan dan penghematan pengeluaran.
“Kami cukup optimis terhadap solusi korporasi, atau solusi perangkat lunak yang tidak hanya memberikan nilai tambah bagi perusahaan, tetapi juga mengoptimalkan hal-hal tertentu,” ujar Joshua pada paparannya di TechinAsia Conference, Rabu (18/10/2023).
Joshua menambahkan tren terkait perangkat lunak ini akan berlangsung hingga 3-4 tahun ke depan.
Selain itu, Joshua juga mengatakan startup yang juga diminati adalah perusahaan rintisan yang dekat dengan konsumennya atau mengadopsi model bisnis D2C.
Menurut Joshua, konsumen sangat penting untuk pasar dan merupakan kunci peningkatan perekonomian Indonesia.
“Jadi, jika ada perusahaan rintisan yang mencoba memanfaatkan hambatan ini, pada dasarnya kami akan dengan senang hati berbicara dengan mereka,” ujar Joshua.
Senada, General Partner MSW Ventures Jeffrey Seah mengatakan konsumen sangat berpengaruh dalam perkembangan startup.
Jeffrey mencontohkan penutupan TikTok Shop beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, hal itu tak akan terjadi jika masyarakat seluruhnya menerima TikTok Shop. Hal ini menggambarkan betapa besarnya peran masyarakat.
Selain itu, Jeffrey mengatakan di tengah perkembangan dan transformasi digital pada saat ini, hilangnya distributor dari sebuah produksi bukanlah suatu hall yang sulit.
Sebagai informasi, dikutip dari Deal Street Asia, nilai kesepakatan perusahaan rintisan di Asia Tenggara anjlok 72 persen secara bulanan menjadi US$486 juta atau Rp7,47 triliun (kurs: Rp15.378/US$).
Hal ini dikarenakan banyaknya kesepakatan besar gagal terjadi antara investor dengan para perusahaan rintisan.
Tren ini pun sudah terjadi sepanjang semester I/2023. Diketahui, pada periode tersebut, pendanaan perusahaan rintisan turun drastis sebesar 58,6 persen.
Adapun pada kuartal II/2023, pendanaan di Asia Tenggara juga hanya mencapai US$2,13 miliar atau senilai Rp32,7 triliun (kurs: Rp15.366/US$).