Bisnis.com, JAKARTA - Viral di media sosial mengenai pedagang Tanah Abang yang meminta agar Lazada dan Shopee ikut ditutup. Mereka menilai sepinya Tanah Abang karena kehadiran Lazada dan Shopee. Padahal, Tokopedia dan Bukalapak juga merupakan e-commerce penguasa pasar Indonesia. Tak ada nama keduanya di jeritan pedagang.
Dilansir dari Momentum Works dan Data Indonesia, nilai transaksi bruto (gross merchandise value/GMV) e-commerce di Indonesia mencapai US$51,9 miliar pada 2022. Nilai itu setara 52% dari total GMVe-commerce di Asia Tenggara yang sebesar US$99,5 miliar.
Sebagian besar GMV e-commerce di Indonesia disumbangkan oleh Shopee. Nilainya mencapai US$18,68 miliar atau setara dengan 36% dari total GMV e-commerce di Tanah Air. Tokopedia menyusul di posisi kedua dengan GMV sebesar US$18,17 miliar atau 35%.
Kemudian, GMV yang dimiliki Lazada dan Bukalapak masing-masing sebesar US$5,19 miliar atau 10%. GMV yang dimiliki TikTok Shop di Indonesia tercatat sebesar US$2,60 miliar atau 5%. Sementara, Blibli memiliki GMV sebesar US$2,08 miliar atau setara 4%.
Dari data tersebut mengisyaratkan jika Shopee dan Lazada dihapus, berpotensi berdampak pada e-commerce kompetitor, yang bersaing ketat secara porsi pangsa pasar.
Di sisi lain pemerintah telah menutup TikTok Shop, platform social commerce, karena diduga mematikan bisnis pedagang di Tanah Abang. Lantas apa dampak dari penutupan TikTok Shop bagi pedagang?
Mengenai dampak penutupan TikTok Shop dan tuntutan pedagang Tanah Abang untuk menutup platform lain, Harif (33 tahun), penjual aksesori di lantai 3 Pasar Tanah Abang, mengatakan tutupnya TikTok Shop tidak berdampak terhadap penjualan pedagang, lantaran influencer beralih ke platform lain seperti Shopee, Lazada, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, menurut pria yang telah berjualan di Tanah Abang sejak 2010, sejumlah pedagang mendorong pemerintah untuk menutup platform online lainnya seperti Shopee, Lazada dan lain-lain.
“Makanya orang berpendapat kalau tutup satu, tutup semua,” ujarnya.
Harif mengaku pedagang kalah saing dengan sejumlah influencer yang memiliki banyak pengikut di platform online.
“Sekarang online itu apalagi sejak ada sistem live, kayak artis-artis, orang yang tadinya udah punya duit, udah kaya, udah punya pamor, dia punya daya jual. [Influencer] Lawan kita orang biasa, kita udah jauh, kalah,” kata Harif.
Senada, Rizal (60 tahun), juga mengaku harus kalah saing dengan sejumlah influencer yang memiliki pengaruh yang cukup besar dibandingkan dengan dirinya. Dia juga meminta pemerintah untuk mengatur harga barang yang sangat murah, yang masuk ke Indonesia.
“Kalau nggak boleh [barang murah] masuk, nggak boleh [masuk]. Kalau boleh, pajaknya ditinggikan supaya kita bisa lawan [harga] barang dari luar,” tuturnya.
Keluhan tidak hanya dilontarkan oleh pedagang Tanah Abang, pun dengan mereka yang berjualan di ITC Cempaka Mas. Pedagang di sana juga meminta agar Lazada dan Shopee ditutup. Tidak ada nama Tokopedia dan Bukalapak.
Pujiarti (38 tahun) seorang penjual seprai mengaku belum merasakan pengaruh dari tutupnya TikTok Shop, serta penghentian penjualan produk dari merchant luar negeri yang dilakukan oleh Shopee beberapa waktu lalu.
“Belum, masih sama, masih sepi. Shopee, Lazada, itu harus ditutupin. Sekarang kalau TikTok doang percuma,” ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Yudi (47 tahun). Dia mengakui para pedagang kalah harga jika dibandingkan dengan pedagang di platform online. Sebab, menurut dia, para pedagang konvensional memiliki pengeluaran lain seperti membayar sewa lapak, hingga membayar karyawan sehingga berpengaruh terhadap harga jual barang di tingkat konsumen.
Kondisi tersebut justru tidak dialami oleh pedagang online. Akibatnya, harga barang di platform jauh lebih murah.
“Kita kalah harga, karena kita bayar sewa mereka enggak. Mereka hanya modal suara doang jadi nggak bisa kita imbangi harganya,” jelas Yudi.
Keluhan pedagang lantaran kalah saing dengan e-commerce dan influencer mendapat respons dari Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kemendag Rifan Ardianto.
Rifan mengatakan, salah satu alasan pemerintah mengatur social commerce hingga algoritma sebagaimana tertuang dalam Permendag No.31/2023 salah satunya untuk mencegah hal-hal tersebut.
“Jangan sampai artis dan sebagainya dia punya followers banyak sedangkan dari UMKM baru sekian, ternyata diprioritaskan ke sana. Itu bisa terjadi pemanfaatan data yang tidak adil kan,” kata Rifan.
Untuk itu, pemerintah terus mendorong agar pelaku e-commerce tidak menyalahgunakan data yang ada. Menurut dia, siapapun yang berjualan di platform online harus memiliki kesetaraan.
“Jangan ada pembatasan permainan algoritma yang mengarah pada satu penjual atau yang mengarah pada produk-produk tertentu,” tegasnya.