Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Malaysia tengah mempelajari dasar tindakan yang diambil oleh Indonesia perihal larangan transaksi e-commerce dan di platform media sosial seperti TikTok Shop.
Negara dengan sebutan Negeri Jiran berpeluang untuk melakukan hal yang sama dan menutup TikTok Shop demi melindungi pasar dalam negeri.
Menteri Komunikasi dan Digital Malaysia Fahmi Fadzil mengatakan saat ini memang banyak masyarakat Malaysia menggunakan TikTok Shop untuk berjualan. Namun, pemerintah tidak bisa tutup mata atas isu predatory pricing yang dilakukan di TikTok Shop dan isu keamanan data.
Dikutip dari Malay Mail, sejumlah toko besar di Malaysia mengeluhkan soal harga produk yang ditawarkan di platform TikTok. Di Indonesia hal tersebut menjadi perhatian, yang kemungkinan akan diadopsi juga oleh Pemerintah Malaysia.
Pemerintah Malaysia bakal meminta penjelasan TikTok mengenai hal tersebut.
“Jadi ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh Kementerian Komunikasi Digital dan Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia, terutama terkait aspek konsumerisme atau perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, saya akan segera menelepon TikTok untuk membahas (masalah tersebut),” kata Fahmi, dikutip Senin (9/8/2023).
Diketahui, Predatory pricing atau jual rugi merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, dengan tujuan menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.
Fahmi mengatakan kementerian juga akan mempelajari dasar tindakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam melakukan pelarangan transaksi di social commerce.
“Saya kira TikTok perlu maju dan memberikan penjelasan karena salah satu alasan dilarangnyap TikTok Shop di Indonesia adalah karena isu predatory pricing yang mengancam pengusaha lokal di Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, TikTok resmi menutup TikTok Shop di Indonesia pada Rabu 4 Oktober 2023 pukul 17.00 WIB, seiring dengan adanya larangan social commerce menjalankan bisnis seperti e-commerce.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.31/2023 terkait perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.
Dalam aturan tersebut, terdapat sejumlah peraturan terkait e-commerce dan social commerce. Salah satunya adalah pengaturan terkait model bisnis social commerce yang hanya boleh mempromosikan produk layaknya iklan televisi dan bukan untuk transaksi.
Pasal 21 ayat 3 menegaskan PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang untuk memfasilitasi transaksi pembayaran dalam sistem elektroniknya karena dinilai melakukan predatory pricing.
Praktik predatory pricing sempat dibongkar oleh Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan. Dia mengatakan platform asal China itu berani menjual barang dengan harga separuh harga grosir.
Hal tersebut diungkapkan Zulhas saat bertemu salah satu pedagang aksesori di Pasar Tanah Abang yang mengeluhkan keberadaan TikTok.
“Ini grosir beli harganya Rp7.000. TikTok bisa jual Rp4.000, separuh [dari] itu. Itu yang disebut predatory pricing,” kata Zulhas Kamis (28/9/2023).
Lebih lanjut Zulhas menjelaskan, praktik tersebut biasanya dijalankan selama beberapa bulan, sebelum akhirnya platform tersebut kembali menjual barang dengan harga normal. “Enam bulan itu [tarik] pelanggan, habis-habisan. Habis itu, dia naikkan ke harga normal,” ungkapnya.
Menurut pedagang itu, harga barang di TikTok yang terlampau murah menjadi penyebab banyak pelanggannya beralih ke online. “Pelanggan lari Pak,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut tidak membuat predatory pricing hilang di Indonesia. “Praktik predatory pricing juga ditemukan di platform selain TikTok Shop,” ujar Bhima.
Dia menambahkan, hal ini menjadi makin urgen karena akan terjadi pergeseran penjual e-commerce. Hal ini dikarenakan pangsa pasar TikTok di Indonesia sudah mencapai 5 persen.
Walaupun Bhima mengaku penjual biasanya juga memiliki beberapa akun di platform yang berbeda.
"Pangsa pasar TikTok Shop diperkirakan 5 persen secara gross merchandise value [GMV] dari total perdagangan daring. Dengan ditutupnya TikTok Shop terjadi pergeseran penjual ke platform ecommerce lain khususnya Shopee dan Tokopedia,” ujar Bhima.