TikTok Dibayangi Tantangan Ini Jika Kembangkan Marketplace

Crysania Suhartanto
Minggu, 8 Oktober 2023 | 15:57 WIB
CEO TikTok Shou Zi Chew menyampaikan paparan pada acara TikTok Southeast Asia Impact Forum 2023 di Jakarta, Kamis (15/6/2023). Bisnis/Arief Hermawan P
CEO TikTok Shou Zi Chew menyampaikan paparan pada acara TikTok Southeast Asia Impact Forum 2023 di Jakarta, Kamis (15/6/2023). Bisnis/Arief Hermawan P
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - TikTok perlu mengantisipasi sejumlah tantangan seandainya perusahaan berniat membangun lokapasar atau marketplace sendiri. Salah satu tantangan terberatnya adalah menghadirkan pengalaman yang berbeda kepada pelanggan saat mereka berbelanja. 

Wakil Ketua Indonesia E-Commerce Association (iDEA) Budi Primawan mengatakan dengan membuat marketplace, TikTok harus dapat memastikan pelayanan dan perlindungan yang baik untuk penjual dan pembeli. 

“Sehingga TikTok dapat memberikan pengalaman berbelanja dan berjualan online yang baik,” ujar Budi kepada Bisnis, Jumat (8/10/2023).

Dikutip dari Harian Jogja, sepanjang 2022 Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) menerima 93 persen atau 6.911 kasus pengaduan berasal dari perdagangan melalui e-commerce.

Adapun pengaduan tersebut berupa pengembalian dana yang bermasalah, pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian, barang yang tidak diterima konsumen, dan pembatalan sepihak pelaku usaha. Permasalahan ini harus dapat diantisipasi oleh TikTok. 

Di sisi lain, keberadaan TikTok sebagai marketplace juga akan membuat persaingan yang makin ketat antar e-commerce.

Ketua Bidang Rekomendasi Hukum Telematika Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Johny Siswandi menyarankan agar aparat penegak hukum lebih rajin dalam mengawasi untuk menjaga iklim persaingan tetap sehat. 

Dia menuturkan tanpa adanya pengawasan yang ketat kasus predatory pricing dan keamanan data akan terus ada dan bahkan bertambah parah. 

“Yang semestinya diawasi dan ditindak oleh aparat yang relevan,” ujar Johny.

Sebelumnya, TikTok resmi menutup TikTok Shop di Indonesia seiring dengan adanya larangan social commerce untuk menjalankan bisnis seperti e-commerce. 

Berdasarkan rilis resminya, TikTok mengatakan pihaknya menghormati dan mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia. 

“Dengan demikian, kami tidak akan lagi memfasilitasi transaksi e-commerce di dalam TikTok Indonesia, efektif per tanggal 4 Oktober, pukul 17.00,” ujar TikTok, Selasa (3/10/2023).

Penutupan ini merupakan imbas dari ditandatanganinya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31/2023 yang mengatur terkait e-commerce serta social commerce.

Salah satunya adalah pengaturan terkait model bisnis social commerce hanya boleh mempromosikan produk layaknya iklan televisi dan bukan untuk transaksi. 

Pasal 21 ayat 3 menegaskan PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang untuk memfasilitasi transaksi pembayaran dalam sistem elektroniknya karena dinilai melakukan predatory pricing.

Nasib TikTok di Malaysia

Sementara itu,Pemerintah Malaysia akan mempelajari dasar tindakan yang diambil oleh Indonesia perihal larangan transaksi e-commerce dan di platform media sosial seperti TikTok Shop.

Negara dengan sebutan Negeri Jiran itu menaruh perhatian pada predatory pricing. 

Dilansir dari Borneo Bulletin, Minggu (8/10/2023) Menteri Komunikasi dan Digital Malaysia Fahmi Fadzil mengatakan saat ini masyarakat telah menggunakan TikTok Shop untuk berjualan. Mereka merasa prihatin atas aksi larangan transaksi di social commerce seperti TikTok Shop. 

Meski demikian, Pemerintah Malaysia memilih untuk tidak hanya berfokus pada banyaknya masyarakat yang menggunakan layanan TikTok, juga berfokus pada isu predatory pricing yang dilakukan di TikTok Shop dan isu keamanan data. 

Dikutip dari Malay Mail, sejumlah toko besar di Malaysia mengeluhkan soal harga produk yang ditawarkan di platform TikTok. Pemerintah Malaysia bakal meminta penjelasan TikTok mengenai hal tersebut. 

“Jadi ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh Kementerian Komunikasi Digital dan Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia, terutama terkait aspek konsumerisme atau perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, saya akan segera menelepon TikTok untuk membahas (masalah tersebut),” kata Fahmi. 

Diketahui, Predatory pricing atau jual rugi merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, dengan tujuan menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper