Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa proses pengerjaan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights atau hak penerbit sudah mendekati rampung. Jokowi mengaku sempat kesulitan membuat regulasi tersebut.
Hal ini disampaikannya saat membuka Peresmian Pembukaan Kongres Ke-25 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 2023 di Istana Kenegaraan, Senin (25/9/2023).
“Dahulu saya menyampaikan, ah paling sebulan selesai, tetapi dalam praktiknya sangat rumit sekali. Yang [pihak] ini mau, ini tidak mau. Lama-lama tidak rampung-rampung. Namun, sudah kita bahas sangat lama dan sekarang memang prosesnya sudah hampir selesai,” ujarnya di Istana Negara, Senin (25/9/2023).
Orang nomor satu di Indonesia itu pun berharap agar peraturan yang akan mengatur konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan media itu tidak mengalami kebuntuan pendapat dan dapat segera rampung.
Menurutnya, saat ini perpres tersebut tengah menfasilitasi agar adanya titik temu antar pemangku kepentingan dan pelaku di industri media.
“Saya melihat sudah mulai terlihat [sudah ada titik temu], mulai menguat dan inshaAllah ini akan cepat selesai dan saya tahu ini menjadi concern media dan pers,” pungkas Jokowi.
Sebelumnya, induk perusahaan dari Facebook dan Instagram, Meta, meminta Pemerintah Indonesia mempertimbangkan solusi saling menguntungkan, seiring dengan rencana penerbitan regulasi hak cipta penerbit atau publisher rights.
Regulasi publisher rights bakal mewajibkan platform digital, seperti Facebook hingga Google untuk membayar berita dari media massa.
Director of Public Policy Meta Rafael Frankel menyatakan, permintaan itu disampaikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham), hingga Sekretariat Negara.
“Kami [Meta] sedang berusaha untuk menegosiasi dengan kementerian terkait untuk mendapatkan solusi dari hal ini [publisher rights],” ujarnya dalam konferensi virtual pada Senin (7/8/2023).
Bila regulasi publisher right terlaksana, Frankel menegaskan harus mengambil suatu keputusan berat, yakni membatasi jumlah konten yang dipublikasi di Facebook dan Instagram.
Hal ini pun akhirnya membuat jumlah konten berita yang ada di Facebook menjadi sangat terbatas.
“Itu akan berdampak bagaimana berita akan ditampilkan Facebook, khususnya untuk pelanggan di Indonesia. Sama halnya dengan yang kami lakukan di Kanada. Kami benar-benar tidak mau untuk sampai ke fase tersebut,” ujarnya.
Frankel juga menyatakan sekitar 90% konten berita yang ada di Facebook selama ini diberikan sukarela dari para penyedia berita. Menurutnya, Meta tidak mengambil konten berita dari para penyedia berita.
“Mereka [para penyedia berita] dengan sukarela menaruh kontennya di platform kami. Kami tidak mengambil konten tersebut, 90% konten berita kami berasal dari para penyedia berita itu sendiri,” ujarnya.
Pemberian berita secara sukarela, imbuhnya, menguntungkan para penyedia berita dan dapat membuat kantor berita menjadi lebih maju.
Hal tersebut dapat terjadi karena Facebook bisa membantu konten berita dinikmati oleh lebih banyak pembaca yang tertarik dengan topik tersebut.
Selain itu, Facebook juga membuat laman kantor berita tersebut memiliki lebih banyak pengunjung.
“Keuntungan-keuntungan yang didapatkan setelah mengunggah konten di platform kami secara sukarela, didapatkan oleh para pengunggah itu sendiri,” ujarnya.
Oleh karena itu, Frankel menyatakan jika regulasi publisher rights benar terlaksana, hal itu akan merugikan pengguna dan penyedia berita itu sendiri.
Bila harus membayar untuk setiap konten yang ada di platformnya, dia menegaskan hal itu membuat Meta menjadi sangat selektif dalam menentukan konten yang akan dinikmati para pengguna.
Alhasil, hal itu secara tidak langsung juga akan merugikan para kantor berita yang kerap mengunggah berita di Facebook.
Frankel juga mengungkapkan bahwa konten berita di Facebook makin ditinggalkan oleh pengguna. Saat ini, porsi konten berita hanya 3 persen dari keseluruhan konten. Dia memprediksi angka itu akan terus menurun.
Menurutnya, penurunan terjadi karena para pengguna Facebook sudah tidak tertarik pada berita.
“Dan beberapa studi yang kami lakukan beberapa tahun terakhir, menyatakan bahwa orang sudah tidak begitu suka untuk membaca konten berita di Facebook, bahkan konten berita bukanlah sesuatu yang mereka cari di Facebook,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, Frankel menyatakan berita sudah tidak menjadi hal utama yang menarik para perusahaan beriklan dan bukan menjadi sumber penghasilan utama Facebook.