Menilik Bisnis Model Starlink: Bakal Babat Habis Emiten Telko?

Crysania Suhartanto, Leo Dwi Jatmiko
Sabtu, 16 September 2023 | 17:41 WIB
Roket SpaceX Falcon 9 yang membawa 58 satelit untuk jaringan internet broadband Starlink SpaceX dan tiga satelit pencitraan bumi SkySat diluncurkan di Tanjung Canaveral, Florida. Reuters
Roket SpaceX Falcon 9 yang membawa 58 satelit untuk jaringan internet broadband Starlink SpaceX dan tiga satelit pencitraan bumi SkySat diluncurkan di Tanjung Canaveral, Florida. Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Satelit Starlink milik elon musk menawarkan layanan ke ritel dan korporat dengan kecepatan internet yang beragam. Apa dampaknya bagi perusahaan telekomunikasi Indonesia? 

Dikutip dari laman resmi Starlink, harga layanan di tiap-tiap daerah cukup bervariasi, pun dengan kecepatannya. Perbedaan harga dan kecepatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah bisnis model. 

Berdasarkan informasi yang beredar, Starlink memiliki bisnis model yang langsung ke pasar ritel (business to customer/B2C) dan bisnis yang menyasar pasar korporasi (business to Business).

Perbedaannya, layanan B2B umumnya memiliki kecepatan internet yang lebih tinggi dan stabil, dibandingkan dengan B2C. Tentunya, ada kualitas, ada harga. 

Di malaysia, Starlink dapat dibanderol dengan harga MYR2200 atau sekitar Rp722.004 per bulan (kurs: Rp3.281/MYR). 

Adapun kecepatan unggah internet Starlink di Malaysia adalah sekitar 16-25 mbps dan 70-149 mbps untuk unduh. Kecepatan internet yang lebih tinggi diperkirakan untuk melayani segmen korporasi, sementara yang rendah untuk pasar ritel.

Mengenai latensi, Starlink di Malaysia memiliki latensi sekitar 113-186 mbps. 

Kemudian di Australia, Starlink dihargai dengan harga AS$139 atau senilai Rp1,3 juta (kurs: Rp9.864/AU$).

Kecepatan internet Starlink di Australia pun berbeda-beda di setiap bagian daerahnya. Di Melbourne, kecepatan unggah ada di harga 11-20 mbps, unduh 84-177 mbps, serta latensi sebesar 40-48 milidetik.  

Sementara di Perth kecepatan unggah sekitar 15-27 mbps, unduh sekitar 136-231 mbps, serta latensi sebesar 30-40mbps. Mengenai perbedaan kecepatan per daerah, kemungkinan disebabkan kondisi geografis. 

Seperti teknologi satelit pada umumnya, meski Starlink memiliki latensi yang lebih rendah dibandingkan dengan satelit Geostrationer, satelit dengan ketinggian 36.000 km, satelit LEO milik Elon Musk juga punya kekurangan. 

Dalam memberikan layanan di daerah dengan curah hujan tinggi dan penggunungan, kecepatan internet Starlink memburuk sehingga secara kualitas kecepatan juga terkadang lebih rendah dibandingkan dengan daerah non-pegunungan. 

Selanjutnya, layanan di Nigeria, Afrika, negara yang menjadi patokan Luhut Binsar Pandjaitan dalam negosiasi harga Starlink dengan Elon Musk. Diketahui, layanan di Nigeria dipatok dengan harga NGN38.000 atau sekitar Rp781.800 (kurs: Rp20,57/Nigerian Naira). K

emudian, kecepatan unggah di Nigeria sebesar 12-25 mpbs, unduh 84-159 mpbs, serta latensi 30-50 milidetik.

Indonesia

Sama seperti negara lain. Di Indonesia Starlink menawarkan layanan untuk pasar ritel dan korporasi.

Untuk dapat memberikan layanan satelit, Starlink harus membangun PoP dan gateway di beberapa region, yang dihubungkan dengan backbone IP berkecepatan n x 10 Gbps.

PoP atau Poin of Presence adalah titik-titik di mana perusahaan telekomunikasi menempatkan perangkat untuk menyambungkan atau memutus jaringan internet dan komunikasi kepada masyarakat.

Sementara itu gateway satelit (hub) adalah stasiun bumi yang mengirimkan data ke/dari satelit ke suatu area jaringan di daerah/lokal (local area network).

Khusus untuk layanan akses internet, Starlink harus bekerja sama dengan NAP Indonesia dan mengikuti regulasi, misalnya regulasi pemblokiran konten DNS trust+, dan lain sebagainya. 

Dalam memberikan layanan tersebut, Starlink juga harus memiliki lisensi jaringan tertutup (jartup) dan hak labuh satelit, serta lisensi ISP untuk layanan akses internet.

Saat ini Starlink telah bekerja sama dengan Telkomsat, anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.

Kerja sama Telkomsat dengan Starlink ini meliputi kerja sama pemanfaatan lisensi, PoP, gateway, backbone (jaringan tulang punggung), dan pengelolaan perangkat remote, serta aspek komersial.

Lebih lanjut, dari sisi layanan Starlink untuk pasar ritel dan korporasi memiliki karakteristik yang berbeda.

Layanan ritel tidak memiliki garansi throughput (best effort service). Layanan yang diberikan berupa performa standar, antena yang lebih kecil, dan kecepatan maksimal 250 Mbps, serta hanya tersedia konten layanan akses internet.

Sedangkan layanan korporasi memiliki garansi throughput minimal, high performance, antena yang lebih lebar dan kecepatan sampai dengan 500 Mbps. Layanan korporasi dapat diisi dengan konten sebagai link atau sebagai backhaul akses internet.

Dari sisi perangkat penangkap sinyal antara pasar korporasi dan pasar ritel berbeda.

Terminal antena penangkapan sinyal untuk korporasi memiliki performa yang mumpuni dengan tinggi antena mencapai 575 mm dan lebar 511 mm. Sementara itu untuk pasar ritel performanya standar dengan tinggi antena 513 mm dan lebar 303 mm.

Kemudian untuk pemanfaatan Starlink, pasar ritel cenderung menggunakan untuk layanan internet standard yang dapat dibagi ke sekitar 10 perangkat, sementara itu pasar korporasi akan menggunakan untuk jaringan privat, untuk ratusan perangkat sekaligus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman:
  1. 1
  2. 2

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper