Merger Smartfren (FREN) dan XL Axiata (EXCL): Narasi Lama, Cara Sama

Crysania Suhartanto
Rabu, 6 September 2023 | 10:41 WIB
Karyawan melayani pengunjung gerai Smartfren di Jakarta, Rabu (7/9/2022).Bisnis/Abdurachman
Karyawan melayani pengunjung gerai Smartfren di Jakarta, Rabu (7/9/2022).Bisnis/Abdurachman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Rumor mengenai merger PT Smartfren Telecom Tbk. dan PT XL Axiata Tbk. (EXCL) kembali berhembus. Induk dari Axiata dan Sinarmas dikabarkan berencana untuk menjalin beberapa opsi kesepakatan.  

Sumber anonim Bloomberg, Selasa (5/9/2023) mengatakan bahwa pengendali XL Axiata dan Smartfren Telecom sedang bekerja sama dengan penasihat untuk membantu mempertimbangkan potensi transaksi.

Opsi lain yang dipertimbangkan adalah dalam lingkup yang lebih kecil yaitu perjanjian berbagi jaringan (sharing infrastruktur) dan kemitraan. 

Menanggapi hal tersebut, XL Axiata menyebut bahwa informasi tersebut masih spekulatif. XL menolak memberi tanggapan lebih lanjut. 

"Informasi ini menurut kami masih spekulatif dan rumor, sehingga kami tidak bisa memberikan tanggapan lebih lanjut," kata Group Head Corporate Communications XL Axiata Retno Wulankepada Bisnis, Selasa (5/9/2023).

Sementara itu Direktur Smartfren Gisela Lesmana mempertanyakan mengenai keabsahan narasumber yang menghembuskan informasi tersebut. Meski demikian, pada intinya Smartfren terbuka untuk menjalin komunikasi dengan siapapun yang memberi dampak positif. 

“Narasumbernya tidak ada. Bagaimana saya mengomentari? Terima kasih atensinya. Kami selalu membuka diri terhadap semua diskusi yang berpotensi positif bagi semua pihak,” kata Gisele. 

Ini bukanlah kali pertama, seorang sumber anonim juga pernah menyampaikan narasi yang sama pada Oktober 2021 mengenai pembahasan antar induk Axiata dan Sinar Mas mengenai opsi merger hingga kerja sama anak usaha mereka di Indonesia. 

Dampak dari isu tersebut, sama dengan yang terjadi saat ini yaitu lonjakan harga saham masing-masing emiten telekomunikasi. 

Pada 2021, rumor tersebut berhembus usai CK Hutchison Holdings Ltd dan Ooredoo QPSC Qatar sepakat untuk menggabungkan bisnis telekomunikasi Indonesia mereka dalam transaksi senilai US$6 miliar.  

Isu merger XL Axiata dan Smartfren saat itu baru mereda setelah Corporate Secretary EXCL Ranty Astari Rachman bersurat kepada otoritas bursa yang menyebutkan sejauh ini tidak terdapat transaksi merger yang dilakukan EXCL dengan pihak FREN. 

Urgensi

Sementara, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward menilai merger Smartfren dan XL Axiata merupakan solusi murah untuk menambah sumber daya frekuensi.

Keduanya saat ini menjadi operator dengan pita frekuensi paling sedikit di Indonesia, yang membuat mereka sulit bersaing dengan Indosat dan Telkomsel. Dengan merger, maka mereka tidak perlu ikut proses lelang atau pun beauty contest untuk mendapatkan tambahan spektrum. 

Nilai lelang frekuensi terakhir pada 2022, untuk tambahan spektrum 2x5 MHz, memaksa operator mengeluarkan dana Rp605 miliar untuk 10 tahun dan Rp1,8 triliun pada tahun pertama. 

Adapun saat ini XL Axiata mengoperasikan 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, total ada 90 MHz, dengan pita frekuensi 1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G. 

Sementara Smartfren mengoperasikan 11 MHz untuk uplink dan 11 MHz untuk downlink di pita 800 MHz, dan 40 MHz di pita 2,3 GHz.

Jumlah tersebut jauh di bawah Indosat dan Telkomsel yang masing-masing sebesar 145 MHz+50 MHz dan 135 MHz. Frekuensi adalah sumbe daya terbatas nyawa operator seluler dalam memberikan layanan mumpuni kepada pelanggan. 

“(Apalagi) alokasi frekuensi baru belum ada dan cenderung makin mahal,” ujar Ian pada Bisnis, Rabu (6/9/2023).

Ian juga menyampaikan jika merger ini betul terjadi, meningkatkan potensi adanya kesepakatan tarif yang akan berujung pada harga telekomunikasi yang mahal. 

Dia berpendapat dari sisi persaingan usaha, sebetulnya keberadaan 4 perusahaan operator itu lebih ideal daripada 3 operator atau 2 operator.

Dengan demikian, Ian pun berharap jika merger ini benar terjadi, tidak boleh ada merger lagi antara para operator.

“Masyarakat akan dirugikan dengan sedikitnya pilihan,” ujar Ian.

Namun, Ian mengatakan persaingan usaha tidak sehat ini dapat dicegah dengan pengawasan  pemerintah yang ketat. Apalagi persaingan usaha ini sebenarnya juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper