Bisnis.com, JAKARTA - PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Indosat Tbk. (ISAT) meminta pemerintah untuk lebih kuat dalam mengatur layanan yang diberikan pelaku usaha yang berjalan di atas jaringan internet atau over the top (OTT).
Group Head Corporate Communications XL Axiata Retno Wulan mengatakan aturan tersebut yang lebih kuat perlu diterapkan pada OTT yang mensubstitusi atau menggantikan layanan telekomunikasi serta layanan OTT dari bidang lainnya.
“Bentuk pengaturan yang kuat tersebut diharapkan menciptakan kerja sama yang fair antara penyelenggara telekomunikasi dengan OTT,” ujar Retno kepada Bisnis, Senin (28/8/2023).
Sebagai informasi, OTT yang bersubstitusi dengan layanan telekomunikasi adalah WhatsApp dan Telegram.
Hal ini dikarenakan ketiga platform tersebut sekarang digunakan pula untuk mengirimkan kode one time password (OTP) pengganti SMS.
Padahal, pengiriman OTP melalui SMS merupakan salah satu sumber penghasilan dari perusahaan operator.
Alhasil, Retno meminta pemerintah untuk membuat regulasi dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai pengguna utama.
Selain itu, saat ini XL Axiata dengan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) mendorong Kemenkominfo sebagai kementerian teknis dan pemangku kepentingan lain atas isu ini.
Retno pun berharap agar terjadi kerja sama yang wajar dan adil antara penyelenggara telekomunikasi dengan OTT.
Sebagai informasi, bukan hanya XL yang merasa terancam dengan kehadiran OTT.
Sementara itu, Director and Chief Business Officer PT Indosat Tbk. (ISAT) Muhammad Buldansyah juga meminta pemerintah agar mengatur para operator OTT ini.
Buldansyah juga ingin pemerintah mengingatkan operator OTT global tentang cara berbisnis. “Kami bukan mau marah, tapi bagaimana mengatur dengan baik,” ujar Buldansyah.
Berdasarkan catatan Bisnis, OTT telah menggerus pendapatan operator telekomunikasi hingga Rp3-4 triliun. Permasalahan ini bahkan mendapat sorotan dari Komisi VI DPR RI.
Anggota Komisi VI DPR RI Andre Roside menyesali kondisi ini mengingat OTT seperti Whatsapp tidak membangun infrastruktur telekomunikasi dan tidak memiliki kontribusi yang jelas bagi negara.
Dia juga khawatir keamanan masyarakat Indonesia terancam ketika perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya BUMN, memberikan one time password (OTP) melalui layanan OTT seperti Whatsapp. Pasalnya, nomor Whatsapp, nomor ponsel dan orang yang menggunakan nomor tersebut dapat berbeda atau tidak dalam satu identitas yang sama.
“Ini penting menjadi catatan bagi himpunan bank milik negara (Himbara). Jangan sampai Himbara beralih (ke OTT), lalu keamanan nasabah bisa berantakan, karena WhatsApp bisa beda nomor beda orang. Itu penting,” kata Andre.
Andre juga meminta agar OTT diregulasi dalam tiga hal. Pertama, regulasi pajak penghasilan (PPH) OTT, yang merupakan amanah Perpu 1/2020 pasal 6 ayat 2.
Kedua, regulasi kualitas layanan OTT, yang dapat memastikan kualitas layanan yang diterima pengguna prima, mengingat OTT mengambil bandwith yang besar.
“Terakhir adalah regulasi kewajiban kerja sama dengan operator telekomunikasi,” kata Andre kepada Bisnis.