Bisnis.com, JAKARTA - Isu kebocoran data kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) membuat pemerintah harus mengambil langkah serius agar insiden serupa tidak benar-benar terjadi. Sejauh ini, pemerintah dinilai selalu abai terkait pengawasan serta penegakkan hukum.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) pun meminta Kemendagri untuk segera melakukan investigasi internal untuk mengidentifikasi sumber kegagalan perlindungan dan standar perlindungan, membuat sistem penanganan insiden, serta melakukan pengawasan dlebih ketat.
Sementara itu, Elsam juga meminta Kemenkominfo melaksanakan kewenangan pengawasan yang dimilikinya dan melakukan proses investigasi pada kebocoran data. Hal ini diharapkan untuk dilakukan mengingat data yang tersimpan di Dukcapil juga tidak sedikit.
Pada Dukcapil juga bukan hanya data pribadi seperti nama dan tanggal lahir, melainkan juga data spesifik, seperti biometrik dan sistem identitas digital yang lebih riskan.
“Apabila terjadi serangan terhadap confidentiality, integrity, dan availability data kependudukan, maka langkah serius untuk memitigasi dugaan insiden ini harus dilakukan,” ujar ELSAM dalam rilisnya, dikutip Rabu (19/7/2023).
Elsam juga menyatakan pemerintah masih kurang optimal dalam hal penegakkan, penanganan, dan penerapan standar kepatuhan perlindungan data pribadi.
Padahal sebagaimana sudah diketahui, terdapat standar pengembangan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang diatur Perpres No. 95/2018 maupun Perpres No. 132/2022.
Selain itu, telah ada PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), dan Permenkominfo No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik yang mengatur tentang standar kepatuhan pada data pribadi.
Lalu adapula UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang sudah diberlakukan dan dalam tahap penyesuaian. Elsam menilai kelalaian terkait data dapat menimbulkan kekhawatiran kepercayaan masyarakat terkait lembaga pengurus PDP.
Mereka pun mengambil contoh kebocoran data penduduk Korea Selatan pada 2014, di mana terdapat 80 data penduduk dicuri, termasuk data pribadi Presiden Korea Selatan.
Berangkat dari kejadian itu, Pemerintah Korea Selatan harus membangun ulang sistem identitas kependudukan dengan estimasi biaya lebih dari US$650 juta.