Ekosistem Metaverse di Indonesia Dinilai Belum Matang, Bakal Lesu?

Crysania Suhartanto
Selasa, 11 Juli 2023 | 13:18 WIB
Seorang pengunjung berfoto di depan instalasi seni imersif berjudul Halusinasi Mesin-Ruang: Metaverse oleh seniman media Refik Anadol, yang akan diubah menjadi NFT dan dilelang secara online di Sothebys, di Digital Art Fair, Hong Kong. REUTERS/Tyrone Siu
Seorang pengunjung berfoto di depan instalasi seni imersif berjudul Halusinasi Mesin-Ruang: Metaverse oleh seniman media Refik Anadol, yang akan diubah menjadi NFT dan dilelang secara online di Sothebys, di Digital Art Fair, Hong Kong. REUTERS/Tyrone Siu
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Masa depan metaverse di Indonesia penuh tanda tanya. Sempat digandrungi oleh sejumlah perusahaan, teknologi dunia virtual tersebut diperkirakan bakal lesu jika tidak dapat membangun ekosistem yang matang. 

Di beberapa negara, sejumlah perusahaan mulai meninggalkan metaverse. Pada Maret 2023, Disney dikabarkan melakukan restrukturisasi organisasi dengan memangkas 50 pegawai di divisi metaverse. 

Hal sama juga dilakukan Microsoft yang menutup AltSpaceVR, sebuah platform yang berfokus pada pengembangan virtual reality. 

Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura menilai tutupnya sejumlah layanan metaverse tidak terlepas dari pengembangan produk yang terlalu cepat dan tidak disesuaikan dengan ekosistemnya. 

Dia mengkhawatirkan kondisi tersebut juga akan terjadi di Indonesia. metaverse gagal berkembang karena adopsi masyarakat terhadap teknologi ini rendah.

“Orang belum siap secara gaya hidup, secara perangkat juga, tetapi sudah dipaksa masuk ke Indonesia,” ujar Tesar, Selasa (11/7/2023).

Dia juga mengatakan bahwa pasar metaverse di Indonesia masih tersegmentasi dan tidak merujuk pada masyarakat secara umum, sehingga jumlah penggunanya juga menjadi makin sedikit. 

Lebih lanjut, kata Tesar, perangkat yang diperlukan untuk dapat masuk ke metaverse juga masih cenderung mahal dan tidak ramah terhadap pengguna. 

Kelemahan ekosistem metaverse juga terlihat dari kondisi non-fungible token (NFT) yang tengah melandai. Beberapa harga NFT anjlok. NFT sendiri merupakan salah satu komoditas yang rencananya diperjualbelikan di metaverse. 

“Sesuai dengan peruntukan yang bisa diterima pasar keuangan dunia. Jadi jangan buat pasar sendiri, selama masih membuat pasar sendiri, itu hanya ekosistem tertentu yang bisa memanfaatkan teknologi ini,” ujar Tesar.

Tesar mengaku belum sepenuhnya yakin pada teknologi metaverse. Dia bahkan mengungkapkan teknologi ini masih belum dapat terlihat penerapannya secara masif pada satu hingga dua tahun ke depan. 

Metaverse menurut Tesar baru dapat digunakan secara luas jika perangkat yang diperlukan sudah lebih banyak yang menggunakan.

“Jadi selama perangkat ini belum dapat dipakai secara masif, metaverse tidak akan dapat laku. Belum banyak yang pakai, ekosistemnya tidak bisa berkembang secara pesat,” ujar Tesar.

Pada Oktober 2022, Country Director Meta Indonesia Peter Lydian mengatakan bahwa proyek metaverse baru akan optimal 5-10 tahun lagi di Indonesia. Dia tidak menampik bila metaverse yang sempat hype secara global kini mulai kehilangan daya tariknya. 

Namun, sama halnya dengan teknologi komunikasi, tentunya teknologi teranyar ini juga butuh proses untuk dikenal luas oleh masyarakat. 

“Teknologi untuk kebutuhan komunikasi terus berkembang, semula yang hanya bisa untuk mengetik, mengirim gambar, dan sekarang bisa menggunakan video. Dikarenakan ada pressure dan demand untuk membuat teknologi sosial baru, kami percaya internet akan berubah jadi metaverse memang 5-10 tahun dari sekarang,” ujar Peter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper