Bisnis.com, JAKARTA - Pakar siber dari Lembaga Riset Siber Indonesia CISSRec Pratama Persadha menyebut Indonesia masih rawan peretasan yang membuat risiko kasus kebocoran data di Tanah Air masih sangat besar.
Menurutnya, tren kebocoran data ini hadir dan meningkat sejak pandemi Covid-19, meskipun kebocoran data itu sendiri sudah terjadi sejak lama.
"Namun dengan adanya skema bekerja dari rumah [work from home/WFH] selama pandemi, ini meningkatkan risiko kebocoran data," katanya, Selasa (23/8/2022).
Dia memerinci, dari catatan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), anomaly traffic di Indonesia naik dari 2020 sebanyak lebih dari 800 juta jadi 1,6 milliar pada 2021.
Anomaly traffic yang dimaksud ini, sambung Pratama, bisa diartikan sebagai serangan dan lalu lintas data yang tidak biasa, seperti serangan DDoS.
"Lalu dengan WFH ini risiko kebocoran data jadi meningkat karena banyaknya akses ke sistem kantor lembaga perusahaan baik publik dan swasta dilakukan dari rumah atau lokasi lain di luar kantor," ujarnya.
Lebih lanjut dia menilai, saat ini keamanan sistem informasi sebagian besar lembaga negara di Tanah Air masih sangat kurang. Padahal, semua bisa jadi target peretasan dan pencurian data baik lewat aksi offline maupun peretasan online.
Adapun Pratama menambahkan, masalah utama masih banyaknya kebocoran data adalah belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Diharapkan bila nantinya regulasi ini benar-benar kuat, harusnya bisa jadi senjata ampuh untuk melindungi data pribadi masyarakat maupun data milik negara.
"Dengan belum rampungnya RUU PDP akan sangat berdampak luas di Tanah Air. Di Indonesia sendiri pengamanan data pribadi belum mendapatkan payung hukum yang memadai," imbuhnya.