Starlink Beroperasi di RI, Elon Musk Perlu Koordinasi Spektrum Frekuensi

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 14 Oktober 2021 | 22:12 WIB
Roket SpaceX Starship SN9 meluncur terbang dalam rangkaian uji coba di Boca Chica, Texas, Amerika Serikat (AS), Selasa (2/2/2021). Starship SN9 berhasil terbang setinggi 10 km dan melakukan sejumlah manuver sebelum akhirnya meledak saat gagal mengurangi lajunya saat pendaratan./Antara-Reuters
Roket SpaceX Starship SN9 meluncur terbang dalam rangkaian uji coba di Boca Chica, Texas, Amerika Serikat (AS), Selasa (2/2/2021). Starship SN9 berhasil terbang setinggi 10 km dan melakukan sejumlah manuver sebelum akhirnya meledak saat gagal mengurangi lajunya saat pendaratan./Antara-Reuters
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Koordinasi spektrum frekuensi dengan pemain satelit Indonesia menjadi salah satu hal yang harus diselesaikan Starlink milik Elon Musk, jika ingin beroperasi di Indonesia.  

Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia(Mastel) Kanaka Hidayat mengatakan salah satu tantangan Starlink untuk beroperasi adalah koordinasi spektrum frekuensinya dengan operator satelit Indonesia. 

Beberapa satelit Indonesia beroperasi dengan frekuensi Ka-band yang sama dengan milik Starlink. Untuk itu, Startlink harus menjalin komunikasi untuk menghindari interferensi sesama pengguna satelit. 

“Bahkan Starlink [harus] mengalah bila ada kemungkinan mengganggu,” kata Kanaka, Kamis (14/10/2021). 

Sekadar informasi, Satelit Starlink akan menggunakan frekuensi Ka Band dan Ku Band. Sejumlah satelit - salah satunya Satelit Satria - bakal menggunakan frekuensi tersebut untuk beroperasi.

Di samping itu, sambungnya satelit-satelit di Indonesia berada di lintang khatulistiwa, maka saat beroperasi di Indonesia Starlink harus menghindari lintas orbit khatulistiwa. 

Upaya menghindari lintas orbit khatulistiwa itu membuat satelit Starlink lebih banyak manfaatnya bagi negara-negara yang berada di garis lintang tertentu, bukan garis khatulistiwa. 

“Masalah lintasan orbit. Pada prinsipnya seorang pengguna hanya bisa melihat 1 satelit dengan frekuensi yang sama,” kata Kanaka. 

Kanaka juga menyoroti mengenai harga layanan yang diberikan Starlink. Dikabarkan biaya berlangganan layanan internet satelit Starlink sekitar Rp1,45 juta per bulan dengan peranti penangkap sinyal seharga Rp7,26 juta. 

Harga tersebut terbilang sangat murah. Tetapi belum diketahui implementasi ketika beroperasi, sesuai yang dijanjikan atau tidak. 

Menurut Kanaka satelit orbit bumi rendah (Low earth orbit/ LEO) termasuk dalam kategori teknologi baru. Umumnya teknologi baru memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan teknologi yang sudah ada, dalam hal ini satelit geostasioner (GEO). 

“Kami di industri satelit menunggu harga di LEO menurun,” kata Kanaka. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper