Bisnis.com, JAKARTA — Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amsevindo), Edward Ismawan Wihardja mengatakan banyaknya kanal penjualan dalam jaringan membuat startup kecantikan kurang diminati investor.
“Karena market yang terfragmentasi, di mana pemain e-commerce horizontal [marketplace] juga menjadi kanal yang berkontribusi besar terhadap sektor kecantikan, sedangkan pilihan brand juga begitu banyak menjangkau segmen pasar yang sangat bervariasi," katanya pada Bisnis, Minggu (19/9/2021).
Edward menjelaskan dari sisi kanal penjualan bisa dibilang startup kecantikan bersaing dengan berbagai platform e-commerce. Selain itu juga harus berkompetisi dengan pedagang online yang hanya memanfaatkan media sosial.
Kendati pertumbuhannya baik, namun persaingannya sangat sengit. Oleh karena itu, dia menyarankan jika startup kosmetik hendaknya menjangkau target konsumen sebanyak mungkin dan memperpanjang customer lifetime value (CLV ), terutama bagi yang sudah menjadi pelanggan.
Adapun Sociolla, Base, dan Story menjadi jajaran startup kecantikan yang menjadi wadah untuk mencari berbagai kosmetik. Meskipun pamornya semakin menanjak di era pandemi, namun belum ada satupun yang mendapatkan gelar unikorn.
Pamor startup kecantikan masih kalah jauh dengan marketplace. Namun, menurut Edward akan sangat mungkin jika startup kecantikan melakukan kolaborasi atau merger guna meningkatkan valuasi ataupun jangkauan pasar. Oleh karena itu, startup kecantikan perlu roadmap yang benar agar dapat sejalan dengan brand strategy.
“Startup kecantikan perlu melakukan Inovasi yang harus lebih fokus ke produk dan branding,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Industri Aplikasi Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) M. Tesar Sandikapura mengatakan bahwa startup kecantikan tidak memerlukan status unicorn. “Startup kecantikan tidak harus dibuat platform digital, karena mereka sudah laku. Maka tidak perlu status unikorn,” katanya.