Bisnis.com, JAKARTA – Fokus pada pangsa pasar diduga menjadi problema utama sulitnya muncul ragam variasi baru dari sektor perusahaan rintisan (startup) di Indonesia.
Sekadar informasi, sebanyak delapan perusahaan rintisan dari Indonesia masuk ke dalam daftar Forbes Asia 100 to Watch, lantaran dinilai memberikan manfaat sepanjang pandemi Covid-19 di kawasan Asia-Pasifik.
Adapun, daftar paling banyak justru dicatatkan oleh perusahaan rintisan dari India dan Singapura yang masing-masing menyumbang 22 dan 19 perusahaan. Kemudian ada juga Hong Kong yang menyumbang 10 perusahaan rintisan.
Padahal, Menurut catatan Startup Ranking, jumlah startup di Indonesia mencapai 2.219 perusahaan pada 2021, dan menduduki peringkat kelima dengan jumlah perusahaan rintisan terbanyak setelah Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada.
Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang menilai, saat ini setiap pemain hanya mengekor untuk menyerupai pemain besar yang sudah sukses di bidangnya.
“Penyebab utama, jika ada satu sektor startup untung, maka pemain lain malah berfokus untuk membuat yang sejenis. Karena ragu untuk mengambil risiko lain,” katanya, Selasa (10/8/2021).
Lebih lanjut, dia mengatakan, pemerintah juga hingga saat ini hanya mengejar kuantitas jumlah perusahaan rintisan. Padahal, yang dibutuhkan adalah menguatkan kualitas dari setiap pemain.
Meskipun, kota-kota besar di Indonesia sudah memiliki ekosistem perusahaan rintisan yang baik, tetapi yang sering kali didefinisikan rintisan hanyalah perusahaan digital dengan keluaran aplikasi atau website.
“Ini pandangan yang keliru, roh dari startup adalah adalah perusahaan inovasi, sehingga fokus seharusnya mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat, baik untuk masa sekarang atau masa depan,” ujarnya.
Masalah utama lainnya adalah saat melakukan pengawalan secara berkelanjutan kepada para perusahaan rintisan. Setiap pemain membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai Break Even Point (BEP) ataupun Return on Investment (ROI), karena pada dasarnya mereka adalah perusahaan padat teknologi dan padat modal.
Oleh sebab itu, banyak pemain baru yang enggan untuk mencoba masuk ke sektor yang belum terjamah. Bukan dikarenakan minim akan keterampilan, melainkan menghindari risiko gagal.
Menurutnya, kebutuhan pemain saat ini adalah keberadaan inkubator perusahaan rintisan (sandbox) yang memberikan rasa aman para pemain untuk menghadirkan ide-ide segar, tanpa merasa takut gagal.
Dia meyakini, apabila permasalahan tersebut tidak kunjung usai, maka pertumbuhan perusahaan rintisan hanya akan meningkat sekitar 3—5 persen. Bahkan, pemain baru akan banyak dirambah di sektor sejenis.