Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pendaftaran kartu prabayar dengan teknologi biometrik beresiko membuat laju pertumbuhan pelanggan operator telekomunikasi terganggu. Masih banyak pelanggan operator yang menggunakan feature phone atau ponsel tanpa kamera, yang tak mendukung sistem biometrik.
Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan untuk mendukung sistem biometrik dibutuhkan ponsel pintar yang memiliki kamera atau pembaca sidik jari di bodi telepon seluler atau ponsel. Ponsel teknologi lama - ponsel yang hanya bisa SMS dan panggilan suara saja - tidak memiliki kamera, apalagi pembaca sidik jari.
Dia menduga jika sistem ini diterapkan, maka masyarakat yang tinggal di daerah pelosok tak bisa lagi menikmati layanan telekomunikasi, karena sistem ini secara otomatis akan mewajibkan siapa pun yang ingin berkomunikasi harus memiliki ponsel pintar.
“Kalau seperti itu yang paling senang vendor,” kata Ian, Kamis (22/7/2021).
Sebagai gambaran, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada kuartal I/2021 memiliki jumlah pelanggan sebanyak 164,7 juta pelanggan. Dari jumlah tersebut diketahui sebanyak 114,8 juta pengguna merupakan pengguna layanan data.
Dari pencapaian tersebut, jika total pelanggan dikurang dengan jumlah pengguna data maka diperkirakan sebanyak 49,9 juta pelanggan merupakan pengguna layanan non-data (layanan SMS dan panggilan suara) atau pengguna ponsel teknologi lama.
Jumlah pengguna ponsel teknologi lama juga terdapat di operator lain, mengingat mereka masih memiliki Base Transceiver Station 2G, yang salah satu manfaatnya ditujukan untuk melayani pelanggan pengguna ponsel teknologi lama atau feature phone.
Di samping pengguna ponsel teknologi lama masih banyak, kata Ian, masyarakat juga belum percaya dengan teknologi biometrik. Masyarakat perlu diedukasi dan itu membutuhkan waktu.
Masyarakat masih khawatir wajah, sidik jari atau retina yang digunakan untuk mendaftar kartu prabayar bocor ke pihak lain dan disalahgunakan. Data biometrik memiliki tingkat kerahasiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan NIK dan NOK.
Dugaan kasus kebocoran data yang terjadi di BPJS Kesehatan - dengan jumlah data bocor sekitar 279 juta - menjadi salah satu kekhawatiran yang belum terobati hingga saat ini, karena kasus tersebut tidak selesai.
“Tidak semua orang mau wajahnya dikenali,” kata Ian.
Dari sisi operator, Ian menyimpulkan kebijakan ini juga akan memperlambat laju pertumbuhan pelanggan operator dan membuat investasi operator membengkak, karena mereka harus berinvestasi kembali untuk perangkat penyimpanan data.
Mengenai investasi tambahan, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan operator telekomunikasi harus menyiapkan tambahan database dengan kapasitas besar karena basis data bakal meningkat.
Metode pendaftaran dengan biometrik juga membutuhkan bandwidth komunikasi yang jauh lebih lebar dari proses pendaftaran dengan NIK yang sekarang cukup dengan SMS.
“Selain itu juga basis datanya untuk referensi seperti basis data di Dukcapil, apakah siap diakses oleh gerai operator di seluruh Indonesia atau tidak, kita belum tahu,” kata Ridwan.
Dia juga meminta pemerintah menjelaskan perihal ponsel yang digunakan. Apakah nantinya setiap orang atau nomor hanya boleh menggunakan satu ponsel saja atau tidak, mengingat sistem registrasi biometrik mirip dengan sistem pembuatan akun nasabah di bank.
Menurut Ridwan sangat sulit satu nomor atau satu ponsel hanya digunakan untuk satu orang. Dalam belajar jarak jauh saja masih banyak murid orang tua yang meminjamkan ponsel kepada anak-anak mereka. Dengan sejumlah permasalahan yang muncul tersebut, Ridwan mengusulkan agar peraturan menteri tersebut dicabut.