Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi menilai kehadiran satelit orbit bumi rendah (low earth orbit/LEO) milik Starlink dapat membantu satelit yang sudah ada saat ini dalam memberikan layanan internet yang lebih optimal kepada masyarakat. Meski demikian, ada kekhawatiran juga jika satelit ini bakal menggantikan peran Satelit Satria, karena terlalu andal.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan satelit LEO merupakan masa depan komunikasi satelit, mengingat keterbatasan slot orbit untuk satelit geostasioner atau satelit yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer.
Ridwan memperkirakan satelit LEO akan menjadi pelengkap bagi Satelit Multifungsi Satria dalam memenuhi kebutuhan akses internet di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
“Satelit Satria I diperkirakan tidak akan mampu memegang penuh kebutuhan throughput data dalam beberapa tahun ke depan, sehingga diperlukan Satria II atau III atau kerja sama dengan penyedia satelit asing,” kata Ridwan, Rabu (21/7/2021).
Sekadar informasi, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) sempat melakukan perhitungan ihwal suplai dan kebutuhan terhadap data internet di 150.000 titik yang akan terlayani oleh Satria. Hasilnya, secara total terdapat 26,52 juta calon penerima internet dari Satelit Satria di ratusan ribu titik tersebut.
Dengan total penerima tersebut, diperkirakan rata-rata per pengguna hanya akan mendapat kuota sebesar 1,14 GB setiap bulan dari Satria. Padahal pada 2023 atau saat Satria meluncur, prediksi Bakti, rata-rata konsumsi paket data per pelanggan per bulan mencapai 41 GB - 50 GB, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun selama periode 2019-2025 sekitar 45-76 persen.
Jika Indonesia bertahan dengan menggunakan satu Satelit Satria untuk melayani 26,5 juta pengguna, maka daerah 3T tetap akan tertinggal, karena rata-rata pengguna seluler pada 2023 telah mengkonsumsi data sebesar 50 GB atau sekitar 40 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan konsumsi data penghuni di 3T.
Adapun jika ditambahkan dengan Satria II yang membawa kapasitas sebesar 300 Gbps dan Satria III dengan kapasitas 500 Gbps, maka rata-rata per pengguna per GB yang diterima setiap bulannya mencapai 7,25 GB pada 2030.
Ridwan mengatakan kehadiran satelit LEO akan meringankan beban yang dipikul Satria. Starlink dapat meningkatkan suplai data di lokasi Satria atau menjangkau lokasi baru sehingga cakupan internet makin luas.
“Tidak akan saling gerus karena permintaannya tinggi. Pemerintah merencanakan Satria II dan III. Artinya permintaannya tinggi sekali,” kata Ridwan.
Satelit LEO milik Elon Musk diklaim mampu memberikan kecepatan unduh hingga di atas 200 mbps dan kecepatan unggah di atas 40 Mbps per titik, serta tingkat latensi sebesar 20 milidetik. Hal tersebut dapat tercapai karena Satelit Starlink memiliki orbit altitude di 1.110 kilometer.
Layanan yang dihadirkan Starlink jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Satria I yang hanya mampu menyuntikkan internet dengan kecepatan sekitar 1 - 8 Mbps per titik.
Melihat kemampuan andal Starlink, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai satelit Starlink akan menjadi ancaman dan menggantikan Satria. Dia berbeda pendapat dengan Ridwan.
“Starlink tentu ini merupakan game changer yang dapat mengesampingkan peran Satria. Kalau bisa didapat gratis atau lebih murah, kerja sama penggunaan satelit Satria bisa dihentikan. Tapi memang harus ada hak labuh,” kata Heru.
Dia mengatakan seharusnya pemerintah berhitung sejak lama mengenai evolusi teknologi satelit, sehingga dapat menghitungkan dengan matang perihal kebutuhan Indonesia terhadap Satelit HTS Satria.