Bisnis.com, JAKARTA - JBS, pemasok daging terbesar di dunia, menjadi korban serangan ransomware oleh kelompok peretas atau hacker.
Perusahaan asal Brasil yang beroperasi di Amerika Serikat (AS) itu memberikan konfirmasi bahwa pihaknya telah membayar tebusan US$11 juta (Rp156,8 miliar) sebagai tanggapan atas peretasan tersebut.
“Pembayaran dilakukan dalam bentuk Bitcoin. Pada saat pembayaran, sebagian fasilitas perusahaan kembali beroperasi,” ujar manajemen JBS, seperti dikutip Gadget NDTV, Kamis, 10 Juni 2021.
Adapun, pembayaran dilakukan untuk mengurangi masalah tak terduga terkait serangan itu dan memastikan tidak ada data yang dicuri. Pada saat peretasan, rincian informasi muncul tentang tingkat keparahan dari serangan yang terjadi pada 30 Mei 2021, dan diungkapkan kepada staf dalam sebuah memo keesokan harinya.
Dampak dari serangan tersebut, beberapa rumah jagal terbesar di Amerika Serikat ditutup, termasuk satu di Kanada.
Saat itu, JBS telah menangguhkan operasional dari sistem jaringan teknologi informasi miliknya di Amerika Utara dan Australia, meskipun server cadangan perusahaan tampak tidak terpengaruh. Secara alami, penghentian sistem komputer dan operasional pabrik cenderung menyebabkan penundaan pasokan daging ke Amerika Serikat.
Presiden Joe Biden mengatakan pekan lalu bahwa Gedung Putih telah mengaitkan Rusia dengan episode serangan tersebut. Hal tersebut senada dengan perkataan Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre.
"JBS Amerika telah mempertahankan komunikasi yang konstan dengan pejabat pemerintah selama insiden itu," kata perusahaan itu.
Investigasi forensik pihak ketiga juga masih berlangsung, dan tidak ada keputusan akhir yang dibuat. Hasil penyelidikan awal mengonfirmasi bahwa tidak ada data perusahaan, pelanggan, atau karyawan yang dikompromikan.
"Ini adalah keputusan yang sangat sulit untuk dibuat bagi perusahaan kami dan bagi saya secara pribadi," tutur Andre Nogueira, CEO JBS divisi Amerika.
Namun, Nogueira mengaku keputusan ini harus dibuat untuk mencegah potensi risiko bagi pelanggan.
Sebelumnya, peretas ransomware bulan lalu memaksa penutupan sementara pipa perusahaan minyak Amerika, Colonial Pipeline. Perusahaan ini membayar uang tebusan US$4,4 juta atau Rp62,7 miliar kepada pemeras ransomware Darkside yang berbasis di Rusia.
Departemen Kehakiman Amerika dapat memulihkan lebih dari setengah jumlah itu dengan melacak pembayaran bitcoin saat bergerak melalui beberapa transfer anonim dan akhirnya merebutnya dari dompet cryptocurrency.