Exit Bukan Tujuan Akhir Investor Setelah IPO?

Akbar Evandio
Kamis, 10 Juni 2021 | 06:07 WIB
/jibiphoto/
/jibiphoto/
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Langkah exit dinilai bukan menjadi tujuan akhir dari modal ventura. Sebab, selain mendapatkan profit dari perusahaan rintisan (startup) yang mereka danai, keuntungan berkepanjangan jadi opsi yang diincar.

Ketua Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara melihat dengan dana hasil IPO, sebuah startup dapat ekspansi ke level lebih tinggi sehingga pemodal memiliki potensi untuk meraih keuntungan yang lebih besar.

“Contohnya, Amazon yang listing pada 1994 awalnya mereka juga dapat uang dari investor privat. Jadi, penting untuk pemodal kemudian menganalisa mana yang mau dibeli, mana yang harus keluar, dan perusahaan mana yang akan dipegang lebih lama lagi, bahkan hingga seterusnya,” katanya, Rabu (9/6/2021).

Mirza melanjutkan sampai saat ini belum ada perusahaan startup sekelas unikorn atau dekakorn melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurutnya, setidaknya ada tiga pertimbangan kebijakan yang disampaikan kepada BEI, mulai dari reklasifikasi sektor dan subsektor, kebijakan papan daftar, dan dual class of shares (DCS).

Dia menjelaskan mengenai reklasifikasi sektor dan subsektor di mana klasifikasi baru ini akan meningkatkan daya saing pasar modal Indonesia khususnya di kalangan investor institusi seperti Index Fund.

"Jadi, sebelumnya klasifikasi industri kita tidak ada klasifikasi teknologi, kemudian pada 2021 dilakukan reklasifikasi sekarang sudah ada yang diklasifikasikan sebagai teknologi," ujarnya.

Dia menjelaskan mengenai kebijakan papan daftar BEI dinilainya perlu untuk untuk memperbarui persyaratan untuk pencatatan di papan utama BEI, yaitu tidak terbatas bagi perusahaan yang untung saja.

"Memperbarui persyaratan untuk pencatatan di papan utama BEI tidak terbatas untuk perusahaan yang sudah untung atau perusahaan dengan heavily tangible asset," kata dia.

Selanjutnya, dia mengatakan untuk opsi terakhir yaitu dual class of shares (DCS) yakni diperlukannya multiple voting shares (MVS), yang mana ada saham yang mana kepemilikannya mungkin kecil tapi hak suaranya lebih besar daripada kepemilikannya.

“Seperti, founder perusahaan memiliki 10 persen saham, tetapi hak suaranya 30 persen,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini bukan sesuatu yang aneh jika para founder ekonomi digital yang kemudian memiliki saham di bawah 10 persen dengan perusahaan yang sedang berkembang, tetapi mereka yang terus berinisiatif membangun perusahaan.

"Nah, persoalan dari technology stock digital economy misalnya ada Bapak A, Ibu B, Bapak C mendirikan perusahaan teknologi, awal-awal mereka mempunyai saham 100 persen, tetapi karena perusahaan ini terus melakukan ekspansi sedangkan mereka sendiri tidak punya uang cukup banyak maka harus mengundang investor masuk. Investor masuk diundang kemudian tiga orang bapak atau ibu tadi terdelusi dari 100 persen menjadi tinggal 90 persen," tutur Mirza.

Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014—2019 Rudiantara pun menanggapi bahwa tidak semua pemodal akan memilih langkah exit atau keluar usai sebuah startup melantai di bursa.

“Tidak semua investor keluar saat IPO justru mereka stay salah satunya kasus Alibaba, pemodalnya banyak yang stay karena mengharapkan keuntungan yang lebih besar ke depan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper