Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) menilai implementasi 5G di pita 2,3 GHz tidak akan menemui hambatan yang berarti.
Ketua Umum AIPTI Ali Soebroto mengatakan bahwa tantangan pergelaran 5G di pita 2,3 GHz tidak terlalu signifikan, jika dibandingkan dengan awal-awal pergelaran 4G di pita 2,3 GHz.
Secara ekosistem, sejumlah perangkat telah mendukung implementasi 5G di pita 2,3 GHz, termasuk di enam lokasi wilayah elite yang menjadi sasaran komersial 5G Telkomsel. Pergelaran 4G di pita 2,3 GHz dinilai lebih sulit dari 5G.
Pada 2016 ketika Smartfren beralih ke 2,3 GHz dan menjual layanan 4G, mereka harus mem-bundling layanan 4G dengan gawai dalam satu paket. Ekosistem perangkat 4G yang belum terbentuk memaksa Smartfren melakukan hal tersebut.
Berdasarkan data pemasok seluler global (Global Mobile Suppliers Association/GSA) November 2020, jumlah perangkat seluler yang mendukung 5G di pita frekuensi 2,3 GHz sekitar 50 perangkat.
“5G di frekuensi 2.3 Ghz, tidak memiliki tantangan yang signifikan [dari sisi perangkat] dibandingkan 4G di frekuensi 2.3 GHz yang sudah berjalan, dimana kapasitasnya akan bertambah sekitar 30%,” kata Ali kepada Bisnis, Jumat (21/5).
Dia mengatakan tantangan 5G baru akan terlihat ketika digelar menggunakan pita frekuensi lapisan atas atau 6 GHz ke atas. Lapisan atas akan menghasilkan kecepatan yang tinggi dan latensi yang sangat rendah dibawah 1 milidetik, sehingga komunikasi berjalan mendekati waktu nyata.
Pada saat diimplementasikan di lapisan atas, kemampuan 5G baru akan terlihat. Ali menilai untuk mencapai performa 5G yang optimal, harus melalui evolusi, dimulai dari 2,3 GHz, kemudian di sekitar pita frekuensi 3,5GHz, hingga 20 GHz dan kelak di 60 GHz.
“Untuk tahap awal di frekuensi 2,3 GHz, jaringan 5G akan berjalan dengan baik,” kata Ali.