Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat aplikasi dan telekomunikasi mengungkapkan upaya menjaga kualitas dengan meningkatkan kapasitas dan menyewa jaringan cadangan, menjadi sejumlah penyebab ongkos produksi per GB yang dikeluarkan operator seluler mahal.
Ketua Bidang Aplikasi Nasional Masyakat Telematika Indonesia (Mastel) M. Tesar Sandikapura menilai ongkos dasar operator seluler dalam memproduksi kuota internet adalah harga beli bandwidth atau lebar pita jaringan tulang punggung internasional. Masih banyaknya aplikasi yang terdapat di luar negeri membuat ketergantungan Indonesia terhadap lebar pita internasional tinggi, sehingga ongkos per GB yang dikeluarkan pun menjadi besar.
“Yang paling mahal beli kapasitas itu. Kalau perawatan jaringan itu hanya ongkos bulanan,” kata Tesar kepada Bisnis.com, Kamis (25/2/2021).
Operator seluler, kata Tesar, membutuhkan sejumlah kapasitas lebar pita internasional untuk menarik data dari luar negeri untuk kemudian di salurkan kepada para pengguna.
Tesar mengibaratkan kapasitas lebar pita yang dibeli seperti selang yang terus menyalurkan air tanpa henti. Air yang mengalir akan dibagikan kepada masyarakat dengan berbagai skema dan bisnis model.
Beberapa bisnis model yang digunakan operator untuk menyalurkan kuota a..l, penyaluran berbasis jumlah kuota (volume based) misalnya 10GB, 20GB, dst. Kemudian, berbasis waktu (time based) misalnya paket seminggu, sebulan unlimited. Terakhir, berbasis konten (konten based) seperti kuota khusus YouTube, khusus aplikasi percakapan dst.
Adapun, operator umumnya membeli kapasitas lebar pita internasional tersebut dalam ukuran Gbps hingga Tbps, dengan kontrak bulanan atau tahunan.
“Prinsipnya jualan bandwidth sama seperti penyedia jasa internet [tetap],” kata Tesar.
Tesar menambahkan dalam memberikan layanan juga terdapat standar level kualitas yang harus dipenuhi. Upaya operator dalam menjaga kualitas juga mempengaruhi ongkos per GB yang mereka keluarkan.