Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Sistem Komunikasi Kabel Laut Seluruh Indonesia (Askalsi) menyampaikan akvitivitas kapal ilegal dan pemancingan menggunakan rumpon masih menjadi ancaman terbesar bagi keamanan sistem komunikasi kabel bawah laut terputus.
Sekjen Askalsi Resi Y. Bramani menjelaskan dalam 2 tahun terakhir gangguan terhadap sistem komunikasi kabel bawah laut banyak disebabkan oleh jangkar kapal. Sejumlah aktivitas kapal laut ilegal – seperti pemancingan – menyebabkan kabel bawah laut yang berada di bawah rusak akibat jangkar atau alat tangkap ikan kapal tersebut.
“Sebanyak 47 persen gangguan diakibatkan oleh jangkar kapal, 28 persen oleh aktivitas memancing terutama dengan rumpon, 14 persen faktor alam dan 11 persen adalah aktivitas pertambangan dan pencurian,” kata Resi kepada Bisnis.com, Senin (22/2/2021).
Meski demikian, kata Resi, dalam 3 tahun terakhir tren kabel komunikasi bawah laut putus cenderung menurun. Berdasarkan catatan Askalsi pada 2018 terdapat 40 kasus, jumlahnya menurun menjadi 30 kasus pada 2019 dan kembali turun menjadi 27 kasus pada 2020.
Penurunan tersebut didorong oleh kegiatan proaktif para pemilik kabel untuk melakukan patroli pengamanan kabel, sehingga setiap ada aktivitas kapal yang berdekatan dengan sistem komunikasi kabel bawah laut, tim patroli akan melakukan peringatan.
“Pemilik juga rutin melakukan sosialisasi letak kabel kepada pihak terkait yang melakukam aktivitas di sekitar lokasi SKKL,” kata Resi.
Resi berharap agar keamanan konektivitas kabel bawah laut dapat terjaga atau mudah diperbaiki jika terjadi gangguan, pemerintah dapat mempermudah dalam pengurusan izin perbaikan SKKL. Pemerintah dah Askalsi juga diharapkan dapat bersinergi dalam melakukan sosialisasi agar masyarakat yang melakukan kegiatan di laut lebih sadar terhadap keberadaan kabel laut.
Pada 2019, Askalsi sempat menyampaikan bahwa risiko kerusakan kabel bawah laut cukup besar, khususnya pada wilayah dengan aktivitas kapal yang padat seperti di wilayah-wilayah dekat Singapura. Jika terjadi kerusakan, biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kabel saja diperkirakan sekitar Rp4–5 miliar, belum termasuk kerugian bisnis dan pengalihan lalu lintas telekomunikasi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 36/99 tentang Telekomunikasi, sanksi yang diberikan kepada pelaku yang merusak infrastruktur telekomunikasi adalah sanksi pidana hukuman penjara selama 5 tahun.