OTT Asing Wajib Gandeng Perusahaan Lokal, Ini Penjelasannya

Puput Ady Sukarno
Rabu, 17 Februari 2021 | 11:31 WIB
Ilustrasi layanan streaming video./Bloomberg-Daniel Acker
Ilustrasi layanan streaming video./Bloomberg-Daniel Acker
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memastikan akan terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, termasuk Salah satunya dengan membuat RPP Postelsiar yang di dalamnya terdapat beleid tentang kewajiban adanya kerja sama penyelenggara over-the-top (OTT) dengan penyelenggara telekomunikasi.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menuturkan ternyata niat pemerintah tersebut mendapatkan respons beragam beberapa pihak, termasuk OTT asing yang cenderung menolak, dengan alasan pengaturan tersebut bertentangan dengan prinsip net neutrality. Sementara pihak lainnya, menilai bahwa konsep tersebut dinilai sudah tidak berlaku lagi di Amerika Serikat.

Heru mengatakan, net neutrality yang disuarakan oleh beberapa LSM merupakan kampanye terselubung yang dilakukan OTT asing yang masuk dan berusaha di Indonesia tanpa diikat aturan perundang-undangan yang berlaku.

"Strategi OTT asing masuk ke sejumlah negara termasuk Indonesia tanpa mau mengikuti aturan perundang-undangan yang ada. OTT asing itu ingin membawakan dan mendistribusikan kontennya secara bebas. Tanpa boleh ada yang mengontrol," ujarnya dalam siaran pers seperti dikutip, Rabu (17/2/2021).

Padahal di sisi lain, tegasnya, Indonesia tidak mengadopsi net neutrality karena tidak sesuai dengan norma dan perundang-undangan yang ada. Penerapan net neutrality, OTT asing dapat menyalurkan seluruh konten tanpa adanya kontrol dari pemerintah yang seharusnya mutlak diperlukan.

Selain untuk menjaga kedaulatan negara, kontrol tersebut dibutuhkan agar pemerintah dapat melindungi warga negaranya dari konten-konten negatif dan ilegal yang dibawa oleh OTT asing.

Dia mengatakan, saat ini Indonesia hanya mengenal teknologi netral di industri telekomunikasi. Indonesia tak mengenal net neutrality.

"Masa kita ingin OTT asing menyebarkan konten negatif dan ilegal di Indonesia. Seperti perjudian, pornografi atau LGBT. Penyebaran konten negatif dan ilegal di Indonesia melanggar perundang-undangan yang ada," terangnya.

Seperti diketahui bahwa, konten ilegal dan negatif seperti pornografi, LGBT, radikalisme, terorisme serta perjudian dilarang diedarkan di wilayah Indonesia. Hal ini merujuk pada UU ITE, UU Pornografi dan UU Perjudian.

Heru menegaskan, sekilas net neutrality itu terlihat bagus. Namun ketika ditelaah lebih dalam, memiliki lebih banyak mudarat dan tidak ada hubungannya dengan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Jika Pemerintah mencabut kewajiban kerja sama OTT asing dengan operator telekomunikasi di Indonesia, menurut Heru akan membuat negara semakin tak berdaya dan tidak memiliki kekuatan di ruang digital.

Jika itu sampai terjadi maka negara sudah tidak memiliki fungsi lagi di ruang digital. Padahal di ruang digital, negara memiliki kepentingan yang sangat besar dalam melindungi masyarakatnya.

"Dalam kasus Netflix dengan Telkom Group. Itu kan ada konten pornografi dan LGBT di platform digital tersebut. Wajar jika Telkom Group melakukan pembatasan akses. Pembatasan akses tersebut sejatinya adalah untuk melaksanakan amanah UU. Kalau tidak dilakukan, mereka bisa disalahkan," terang Heru.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper