Bisnis.com, JAKARTA – Startup penyedia layanan perjalanan berbasis digital (online travel agent/OTA) dinilai perlu menawarkan paket untuk mengatur ulang jadwal keberangkatan atau booking dengan harga yang lebih murah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa langkah tersebut penting untuk dilakukan demi menekan potensi pengembalian dana (refund) yang dilakukan masyarakat lantaran kebijakan pemerintah untuk meminimalisir peningkatan kasus Covid-19.
“Antisipasinya OTA tawarkan harga yang lebih murah. Jadi OTA tidak kebanjiran refund semua, ada program beli sekarang pergi nanti, bisa juga reschedule sekarang, pergi nanti. Ini bisa didesain untuk cegah pembatalan massal yang merugikan kas perusahaan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (4/1/2021).
Sekadar catatan, pada libur akhir 2020 terdapat aturan yang mengharuskan masyarakat yang bepergian menggunakan transportasi pesawat untuk menunjukkan surat keterangan hasil negatif menggunakan tes RT-PCR paling lama 7x24 jam sebelum keberangkatan.
Adapun, untuk transportasi darat dan laut, masyarakat wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif rapid test antigen paling lama 3x24 jam sebelum keberangkatan.
Bhima mengatakan bahwa imbas dari kebijakan tersebut memberikan efek dari sisi tingkat pembatalan yang cukup tinggi pada libur Natal dan Tahun Baru 2021, begitu juga pembatalan penerbangan.
“[Pembatalan] bisa mencapai 30—50 persen, jika dilihat dari inflasi di sektor transportasi pada Desember 2020 yang hanya 0,46 persen. Padahal biasanya inflasi sektor transportasi cukup tinggi. pada Desember 2019 inflasi di sektor transportasi mencapai 0,58 persen,” ujarnya.
Menurut catatan Bisnis.com, Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak membatasi metode lain bagi masyarakat untuk melakukan tes terhadap Covid-19.
“Sampai dengan kemarin malam [Selasa, 15/12/2020] sudah ada permintaan refund sebanyak 133.000 pax. Hariyadi menyebutkan, refund ini meningkat 10 kali lipat dibandingkan permintaan refund pada situasi normal,” ujar Hariyadi.
Alhasil, dia menyebutkan bahwa kerugian dari refund mencapai Rp317 miliar. Bahkan, memberikan imbasnya ke perekonomian Bali secara keseluruhan mencapai Rp967 miliar.