Industri TV Butuh Tambahan Frekuensi Pascamigrasi ke TV Digital

Leo Dwi Jatmiko
Senin, 21 Desember 2020 | 15:53 WIB
Ilustrasi televisi di kamar tidur./Istimewa
Ilustrasi televisi di kamar tidur./Istimewa
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Perkembangan teknologi televisi membutuhkan kehadiran spektrum frekuensi tambahan. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) meminta agar sisa spektrum frekuensi hasil pemberhentian siaran analog (Analog Switch Off) tidak seluruhnya dilelang ke layanan internet.

Wakil Ketua I ATVSI Neil Tobing mengatakan bahwa televisi 8K saat ini sudah menjadi standar di sejumlah negara maju. Tren ini akan diikuti oleh negara berkembang seperti Indonesia.

Akvititas ASO, kata Neil, mendorong akselerasi teknologi 8K, tetapi di sisi lain membuat jumlah pemain di industri penyiaran makin gemuk sehingga membutukan lebih banyak frekuensi.

Oleh sebab itu, kehadiran frekuensi tetap dibutuhkan. Sisa frekuensi hasil peralihan siaran dari analog ke digital diharapkan tidak seluruhnya dialihkan untuk layanan seluler. Sayangnya, Neil tidak menyebutkan jumlah frekuensi yang dibutuhkan dan perkiraan waktu tv 8K membanjiri Indonesia.

“Artinya kalau frekuensi tidak cukup maka resolusi gambar dan fitur interaktif tidak dapat dilayani, membuat lembaga penyiaran Free to Air [FTA] menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan OTT [Over-The-Top],” kata Neil kepada Bisnis.com, Minggu (20/12/2020).

Untuk diketahui, berdasarkan catatan ATVSI dalam satu kanal –sebesar 8 MHz – dapat menampung program sebanyak 12 program dengan kualitas gambar standar definition (SD) atau gambar berkualitas rendah.

Ketika kualitas gambar ditingkatkan menjadi high definition (HD) maksimal program yang dapat ditampung dalam satu kanal hanya 6 program dan ketika dikembangkan lebih lanjut menjadi 8k, program yang dapat tertampung oleh pita selebar 8 MHz hanya 3 program.

Hal tersebut berarti makin tinggi dan baik kualitas gambar tv digital, maka frekuensi yang digunakan akan makin boros. Industri penyiaran berpotensi akan menggunakan frekuensi tambahan setelah beralih ke digital.

Lebih lanjut, Neil mengaku bahwa tidak semua lembaga penyiaran swasta (LPS) siap untuk ASO pada 2022. Ekonomi yang sedang turun, pendapatan iklan yang anjlok hingga 30 persen secara tahunan dan Kewajiban yang dibebankan kepada pemegang MUX untuk mereaktivasi infrastruktur digital ditengah perekonomian yang sedang sulit, menjadi tantangan terberat.

Di samping itu, mekanisme pengadaan set top box (STB) atau dekoder untuk 44 juta penduduk yang belum memiliki STB juga masih belum jelas penyalurannya.

Neil mengungkapkan bahwa komitmen Pemegang mux hanya 8 jutaan STB dan banyak yang tidak mau menjalankannya, sedangkan pemerintah hanya sanggup menyediakan 7 juta STB. Terdapat gap yang sangat besar dalam kepemilikan STB.

“Terakhir, pemain akan makin banyak [ketika ASO] tentunya kompetisi merebutkan kue iklan makin sengit dan tidak sehat yang menyebabkan keberlanjutan pemain industri menjadi buruk,” kata Neil.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper