Penerapan Tarif Batas Atas dan Bawah Perlu Diimbangi dengan Insentif

Leo Dwi Jatmiko
Rabu, 16 Desember 2020 | 22:58 WIB
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Langkah pemerintah dalam menerapkan tarif batas atas dan batas bawah dinilai sudah tepat. Hanya saja, perlu diimbangi dengan  insentif bagi operator seluler agar investasi terjaga.

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan formula tarif batas atas dan batas bawah yang akan diterapkan kepada operator telekomunikasi harus mempertimbangkan investasi operator. 

Operator telekomunikasi yang masuk ke pasar, yang secara bisnis tidak layak, maka perlu mendapat insentif, batas waktu tertentu bagi operator telekomunikasi tersebut untuk menentukan tarif sendiri. Setelah batas waktu tersebut habis, pemerintah dapat masuk dan mengatur dengan batas atas.

“Kalau murni pengembalian  investasi, pasti tidak akan pernah kembali, sehingga perlu time period yang diberikan pemerintah sebagai suatu insentif,” kata Kristiono dalam acara Selular Digital Telco Outlook 2021, Rabu (16/12).

Kristiono berpendapat dengan insentif tersebut, operator seluler akan lebih tertarik untuk masuk ke pasar atau daerah yang secara bisnis kurang menguntungkan.

Di samping itu, sambungnya, insentif lain yang dapat diberikan kepada operator seluler saat tarif batas atas dan batas bawah diberlakukan adalah penerapan regulasi tarif akses.

Seluruh layanan aplikasi Over the Top (OTT) yang memanfaatkan jaringan operator seluler dikenakan tarif atas akses penggunaan jaringan. Dengan skema ini, dampak dari  penerapan tarif batas bawah dan batas atas tidak akan terlalu signifikan bagi bisnis operator seluler.

“Dukungan undang-undang seperti berbagi infrastruktur aktif dan pasif juga bisa membuat operator telekomunikasi lebih efisien, bisa berkurang jadi yang kami harapkan tidak murni sekadar mengatur tarif atau OTT,” kata Kristiono.

Kristiono menekankan pentingnya independesi pemerintah dalam mengatur tarif batas atas dan batas bawah, mengingat Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah dibubarkan dan salah satu operator telekomunikasi merupakan milik negara.

“Ketika fungsi ini [pengawasan dan pengendalian] dikembalikan kepada pemerintah maka persoalannya tinggal bagaimana aspek independensi dan transparansi bisa dijalankan karena salah satu operator adalah BUMN,” kata Kristiono.

Kristiono mengatakan bahwa operator telekomunikasi perlu mewaspadai persaingan tidak sehat yang terjadi saat ini. Meski diprediksi tumbuh 5,3 persen pada 2021, beban investasi berpotensi menghambat pertumbuhan industri.

Harga paket data di Indonesia hanya di kisaran US$0,4 per gigabit, menjadi yang terendah kedua di dunia. Keuntungan dari penjualan layanan data tidak akan maksimal dalam mendukung penggelaran dan pengembangan infrastruktur telekomunikasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Ropesta Sitorus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper