Bisnis.com, JAKARTA – Chairman lembaga riset siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha memperkirakan kerugian secara global atas serangan siber bisa menembus angka US$5 triliun.
“Ini terlihat dari rata-rata kerugian setiap perusahaan di Amerika Serikat [AS] dan Eropa yang memiliki pegawai di bawah 1.000 orang memiliki kerugian rata-rata tiap serangan malware sebesar US$133.000. Ini angka yang sangat tinggi,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (9/11/2020).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penggunaan data juga seringkali digunakan sebagai salah satu pertimbangan sebelum berinvestasi di sebuah negara sehingga implikasi akan kebocoran data memiliki pengaruh pada investor.
Namun, dia menyayangkan bahwa hingga saat ini masyarakat masih melihat ada kecenderungan bila belum menjadi korban atau belum kehilangan uang dalam proses transaksi elektronik, mereka lebih acuh.
“Karena itu dalam kasus kebocoran data Tokopedia misalnya, masyarakat juga tidak terlalu ambil pusing. Padahal resiko akun email dan media sosial serta lokapasar mereka diretas menjadi lebih besar, karena data pribadi yang terekspos dengan bebas di internet,” katanya.
Dia pun mengatakan bahwa urgensi saat ini memang penyelesaian UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) punya kewajiban membuat sistem yang kuat dan sistem mitigasi yang baik.
“Tanpa UU PDP, para PSTE ini akan menjalankan sistem dengan tidak memaksimalkan sisi keamanan, akibatnya akan terus menerus terjadi serangan yang berhasil merusak sejumlah PSTE,” katanya.