Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pakar telekomunikasi menilai kehadiran pusat data (data center) penyelenggara layanan over the top (OTT) di Indonesia lebih dibutuhkan dibandingkan penggelaran infrastruktur telekomunikasi oleh OTT.
Direktur Eksektutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan seharusnya penyelenggara OTT membangun pusat data di Indonesia agar dapat berkontribusi terhadap pendapatan ekonomi digital dan menghemat devisa. Seandainya pusat data OTT tetap di negaranya masing-masing, kemudian dibolehkan untuk masuk langsung ke Indonesia – dengan membangun infrastruktur telekomunikasi -- maka manfaat yang diterima Indonesia tidak terlalu besar bahkan tidak ada.
“Sebab semua, dari hulu sampai hilir dikuasai mereka semua dan kita benar-benar jadi pasar saja. Sama saja bangun jalan kereta api langsung ke negara kita dan sumber daya keuangan kita diambil,” kata Heru kepada Bisnis.com, Kamis (15/10/2020).
Senada, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi berpendapat sebaiknya OTT tidak diberi kesempatan untuk membangun jaringan infrastruktur telekomunikasi langsung. OTT seharusnya bekerja sama dengan penyedia jaringan nasional, sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan.
“Penyedia jaringan nasional kapasitasnya sudah besar sekali. Masih banyak yang kosong,” kata Ridwan.
Dia mengatakan saat ini permasalahan terdapat pada daerah-daerah yang jauh dari pusat, dan secara ekonomi kurang menguntungkan. Permasalahan tersebut coba dihadapi dengan kehadiran sistem komunikasi kabel bawah lauh (SKKL) Palapa Ring.
Sementara, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengatakan Indonesia seharusnya menjadi HUB atau simpul konektivitas Asia Tenggara, bukan Singapura.
Dengan jumlah penduduk yang besar atau setara 40 persen dari total penduduk di Asia Tenggara, konten dan platform OTT global seharusnya diletakan di Tanah Air.
“Dengan disimpan di Indonesia maka bisa menghemat belanja bandwidth luar negeri, kualitas layanan lebih baik karena latensi lebih pendek,” kata Kristiono.