Isu Merger, Benarkah Grab Butuh Gojek Untuk Bertahan?

Puput Ady Sukarno
Senin, 21 September 2020 | 16:06 WIB
CEO Softbank Group Corp. Masayoshi Son memberi salam dalam konferensi pers di Tokyo, Jepang, Rabu (12/2/2020)./Bloomberg-Kiyoshi Ota
CEO Softbank Group Corp. Masayoshi Son memberi salam dalam konferensi pers di Tokyo, Jepang, Rabu (12/2/2020)./Bloomberg-Kiyoshi Ota
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Isu merger antara Grab dan Gojek kembali menyeruak di tengah situasi pandemi Covid-19 yang hingga kini masih terus meluas. Sejumlah pihak menilai bahwa bergulirnya isu ini diduga kuat akibat dari kondisi Softbank, sebagai pemegang saham mayoritas Grab yang sedang tertekan.

Investasi SoftBank di banyak startup atau usaha rintisan mengalami banyak kerugian. Pada tahun fiskal 2019, kerugian SoftBank mencapai US$17,7 miliar. Kerugian itu diderita Vision Fund, venture capital milik SoftBank, setelah melakukan hapus buku nilai investasi di WeWork dan termasuk Uber Technologies Inc.

Poltak Hotradero, Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai bahwa salah satu kegagalan paling fatal yang diderita Softbank adalah investasi mereka di WeWork.

WeWork adalah perusahaan Amerika Serikat yang menyediakan ruang kerja bersama untuk perusahaan rintisan teknologi, wiraswasta, pekerja lepas, UKM, maupun perusahaan besar.

"Kegagalan investasi di WeWork paling fatal," ujarnya, Senin (21/9/2020).

Selain itu, lanjut Poltak pada masa pandemi ini, laju bisnis perusahaan investasi milik Softbank juga mengalami banyak tekanan. Apalagi hampir sebagian besar investasinya berada di sektor jasa transportasi dan logistik yang terkena imbas langsung Covid-19.

Menurutnya situasi semakin rumit lantaran adanya komitmen Grab terkait akuisisi saham Uber di Asia beberapa waktu lalu.

Sesuai prospektus IPO Uber, Poltak mengatakan operator transportasi daring itu memiliki hak untuk menukarkan 23,2% kepemilikan sahamnya di Grab dengan uang tunai jika Grab tidak melangsungkan IPO hingga 25 Maret 2023.

"Jika Uber mengeksekusi haknya untuk mencairkan kepemilikan sahamnya, maka Grab harus membayar Uber sebesar USD 2,26 miliar atau lebih. Nilai tersebut setara dengan 409 juta saham Grab yang dimiliki Uber dengan harga USD 5,54 per saham dengan bunga sebesar 6% per tahun," ungkap Poltak.

Selama ini, portofolio Vision Fund tersebar di banyak perusahaan. Nilainya ditaksir mencapai sekitar US$33 miliar, hanya di sektor transportasi dan logistik. Beberapa investasi Vision Fund di aset ride-sharing di antaranya adalah investasi US$7,7 miliar di Uber, US$ 11,8 miliar ke Didi China, US$3 miliar ke Grab Singapura, dan USD 250 juta ke dalam Ola India.

Lantas untuk menutupi kerugiannya itu, SoftBank telah melepas kepemilikan sahamnya di ARM, perusahaan chip asal Inggris senilai US$40 miliar. SoftBank juga dikabarkan bakal melepas sahamnya di T-Mobile, perusahaan telekomunikasi asal Jerman senilai US$21 miliar.

Menurut Poltak, merger antara Grab dan Gojek akan menemui beberapa kesulitan. Misalnya, filosofi dan kultur antara kedua perusahaan ride-hailing tersebut berbeda.

Grab fokus menguasai pasar regional. Makanya, unit bisnis Uber di Asia Tenggara diakuisisi oleh Grab dalam rangka memperluas pasar Grab.

Sementara Gojek sejak awal lebih fokus menggarap pasar Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Dengan menguasai pasar Indonesia, Gojek akan lebih leluasa dan mudah menerapkan strateginya untuk menggarap pasar di luar negeri.

Selain itu, lanjut dia, konsep dan strategi antara Grab dan Gojek juga berbeda. Grab saat ini masih fokus pada bisnis transportasi yang melayani pengantaran orang maupun barang.

Sementara Gojek sudah jauh berkembang bukan hanya terbatas pada bisnis transportasi. Bisnis Gojek kini juga bergerak dengan cepat ke arah pembayaran non-tunai melalui Go-Pay.

"Go-Ride saat ini lebih sebagai bagian dari ekosistem supaya Go-Pay lebih banyak dipakai. Gopay sendiri statusnya sudah Decacorn," ujarnya.

Menurut Poltak, perusahaan ride-hailing sebenarnya tidak bisa menutup biaya jika hanya mengandalkan lini bisnis transportasi. Apalagi, jika perusahaan terus-menerus menerapkan strategi bakar uang.

"Kalau memang mau merger pihak yang mengakuisisi dan diakuisisi harus jelas. Jika Grab yang mengakuisisi Gojek, valuasi Go-Pay harus dihitung. Sementara bagi Gojek mereka tidak membutuhkan akuisisi itu karena semua yang ada di Grab sudah ada di Gojek," ujar Poltak.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Editor : Kahfi
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper