Apjatel: Tujuan Penataan Jaringan Utilitas Pemprov Tak Sejalan Pusat

Akbar Evandio
Rabu, 29 Juli 2020 | 14:39 WIB
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (26/8). Bisnis/Abdullah Azzam
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi menilai Rancangan Perubahan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Muhammad Arif mengatakan bahwa Raperda itu disebut tidak termasuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2020.

Dia memahami tujuan dibentuk Perda untuk menata jaringan utilitas yang semerawut, khususnya kabel udara. Tetapi, tujuan itu mulai melenceng

“Perda ini justru membuat ekonomi biaya tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah pusat. Presiden Jokowi menginginkan investasi tumbuh dan menekan biaya ekonomi tinggi,” ungkapnya kepada Bisnis, Selasa (28/7/2020).

Dia mengatakan bahwa regulasi pemerintah daerah (pemda) sepatutnya berjalan seiring dengan pemerintah pusat. Tetapi, Arif menyayangkan bahwa kenyataan di lapangan regulasi yang diinginkan pemerintah pusat, disikapi berbeda oleh pemerintah daerah.

Lebih lanjut, katanya, regulasi yang tidak sejalan ini bukan hanya terjadi di DKI Jakarta, tetapi juga di pemerintah Kota Surabaya yang beberapa waktu lalu juga membuat regulasi serupa. Hal tersebut dinilai berpotensi memberikan beban tambahan kepada operator telekomunikasi.

“Regulasi yang tak sinkron ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Tapi juga daerah lain yang berpotensi memberi beban tambahan kepada operator telekomunikasi,” katanya.

Arif mengungkapkan bahwa pada akhir 2019 pihaknya melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan nomor pendaftaran 13P/HUM/2020 tanggal 6 Januari 2020 untuk meninjau Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Dia mengatakan bahwa gugatan dilayangkan karena banyak multitafsir mengenai hak dan harga sewa lahan di badan jalan yang dilakukan pemerintah daerah. Menurutnya, tidak terdapat keseragaman perhitungan pada kebijakan yang ada.

“Ini ironis sekali. Padahal layanan internet melalui fiber optik yang dipasang operator telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat di saat pandemi Covid-19. Jangan dijadikan obyek pendapatan pemerintah daerah. Tentu ini kontradiktif dengan semangat Making Indonesia 4.0 yang didengungkan Presiden Jokowi,”ujarnya.

Menurutnya, belum maksimalnya harmonisasi regulasi sektor telekomunikasi antara pemerintah pusat dan daerah karena Dinas Kominfo dan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) tidak menjalin komunikasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 

“Buktinya, izin penyelenggaraan yang dikeluarkan Kemenkominfo tidak dijadikan tolak ukur saat penyedia jaringan telekomunikasi ingin melakukan pengurusan izin di daerah. Padahal di masa pandemi, kebutuhan bandwidth sangat vital, masyarakat bekerja belajar dari rumah,” lanjutnya.

Idealnya, katanya, di negara maju, infrastruktur pasif sudah disediakan pemerintah daerah. Tujuannya, mengurangi kesemerawutan jaringan. Sebaliknya, di Indonesia, pemerintah daerah tak pernah membuat infrastruktur pasif.

“Selama ini operator telekomunikasi yang membangun infrastruktur pasif tersebut. Ajaibnya, pembuatan SJUT (Sarana Jaringan Utilitas Terpadu) dipergunakan untuk kepentingan umum, namun penggelolaannya diserahkan kepada BUMD dan operator dikenakan biaya. Bahkan dikenakan tarif sewa lahan,” ujarnya.

Dia mengungkapkan bahwa beberapa waktu yang lalu, APJATEL, APJII dan ATSI telah mengirimkan surat kepada Kemenkominfo dan Kemenkeu agar dapat diberikan insentif semasa pandemi.

Arif mengatakan bahwa karena terdampak pandemi, APJATEL berharap pemerintah daerah yang mengatur penggunaan utilitas publik tidak memperberat operator telekomunikasi.

“Jika beban operasional kami mengalami kenaikan akibat regulasi, ujung-ujungnya masyarakat yang akan terkena dampaknya. Kami mengharapkan pemerintah pusat dapat membenahi regulasi yang ada di daerah,” terangnya.

Namun, Kepala Bidang (Kabid) Prasarana Sarana Utilitas Kota Dinas Bina Marga Provinsi, DKI Jakarta, Bernhard Gultom juga mengklaim bahwa penataan jaringan utilitas tidak akan membebani operator dan pelaku industri telekomunikasi ke depan.

“Kami pemprov DKI Jakarta dalam mengontrol pihak penyelenggara SJUT dlm menentukan tarif dengan selalu mengedepankan asas musyawarah sehingga pihak operator pun tidak terbebani,” ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (29/7/2020)

Dia juga menjelaskan bahwa pemprov DKI Jakarta juga akan melakukan konsultasi publik terhadap naskah akademik dan draf Rancangan Perubahan Perda DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas.

“Penataan jaringan utilitas menjadi hal yang urgensi saat ini, berkaitan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemprov DKI Jakarta yang salah satunya, Pengembangan dan Penataan Jaringan Utilitas serta terwujudnya Penataan Ruang di DKI Jakarta sebagai ibukota negara,” tuturnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper