Apjatel Surati Kominfo, Minta Penundaan Pungutan BPH USO

Akbar Evandio
Rabu, 15 April 2020 | 21:20 WIB
Teknisi melakukan perbaikan Base Tranceiver Station (BTS) milik salah satu operator selular di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (12/4/2019)./Bisnis-Paulus Tandi Bone
Teknisi melakukan perbaikan Base Tranceiver Station (BTS) milik salah satu operator selular di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (12/4/2019)./Bisnis-Paulus Tandi Bone
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) meminta pemerintah untuk menunda pembayaran pungutan biaya hak penggunaan (BPH) dan kontribusi universal service obligation (USO) tahun 2019 yang jatuh tempo pada April 2020.

Ketua Umum Apjatel, Muhammad Arif Angga melalui surat yang dikirim ke Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate pada Rabu (15/4/2020), menyebutkan bahwa pihaknya berharap adanya penundaan pembayaran atau pembayaran dengan mencicil paling lama satu tahun tanpa dikenakan denda atau bunga keterlambatan.

Permintaan itu berlandaskan pada UU 9/2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada Pasal 62 UU PNBP, antara lain menyebutkan bahwa dalam hal tertentu, wajib bayar dapat mengajukan permohonan keringanan PNBP terutang kepada instansi pengelola PNBP.

Hal tertentu yang dimaksud meliputi: di luar kemampuan wajib bayar atau kondisi kahar; kesulitan likuiditas; dan/atau kebijakan pemerintah.

“Permohonan ini dilandasi UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), di mana Pasal 62 dijelaskan ada beberapa kondisi yang bisa mengakibatkan pihak yang wajib membayar PNBP bisa mendapatkan keringanan dari pemerintah,” tulisnya.

“Jika memang harus meminta persetujuan dari kementerian lain mengenai hal ini, kami berharap Bapak Menteri dapat membantu mendorong agar keringanan dapat diwujudkan,” tambahnya.

Sementara itu, terdapat delapan poin argumen yang disodorkan Arif mengapa asosiasi meminta pembayaran ditunda.

Dia menuliskan bahwa Apjatel yang anggotanya adalah pemilik infrastruktur fisik jaringan fiber optik, saat ini menopang industri telekomunikasi baik seluler, intemet service provider (ISP) sampai dengan lavanan OTT (Over The Top) yang melayani hampir seluruh masyarakat Indonesia.

“Keberlangsungan bisnis kami sangat bergantung dengan mata rantai Iayanan telekomunikasi yang ada diatasnya, sehingga efek domino dari penurunan kegiatan ekonomi akan sangat berdampak pada industri jaringan telekomunikasi,” tulisnya.

Arif menjelaskan bahwa saat ini ada dua sektor pasar dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, yaitu perusahaan dan ritel.

“Saat ini sektor corporate market sangat menurun kondisinya, terlebih dengan kebijakan untuk bekerja dari rumah (WFH) sehingga hampir semua kantor kosong,” jelasnya.

Adapun sekitar 85 persen dari total penyelenggara di bidang telekomunikasi mempunyai pasar di sektor perusahaan.

Imbas dari WFH, kata dia, terjadi penurunan trafik sekitar 60 persen dari kondisi normal. Akibatnya, banyak pelanggan perusahaan berhenti berlangganan dan meminta keringanan biaya bulanan kepada penyelenggara jaringan (operator).

Selain itu, lanjutnya, banyak pelanggan perusahaan terlambat membayar kepada operator.

“Ini yang memberatkan cash flow kami, sedangkan pertumbuhan pelanggan baru otomatis hampir tidak ada saat ini,” jelasnya.

Dia mengakui ada pertumbuhan signifikan dari trafik layanan dan pelanggan ritel baru. Efeknya, operator juga perlu membarui beberapa layanan dan hal itu berdampak pada biaya produksi.

“Dalam peningkatan jumlah pelanggan baru, sekilas akan terlihat market meningkat, tapi sebagai penyelenggara jaringan, sekecil apa pun kita mendapatkan pelanggan, tentu ada biaya Capex  (capital expenditure/belanja moda) yang kami keluarkan, terutama investasi kabel dan perangkat aktifnya,” katanya.

Padahal, menurutnya, semua operator sedang menghemat secara ketat mengeluarkan Capex baru guna menjaga arus kas.

Perlu diketahui, Arif mengatakan bahwa dalam meningkatkan layanan belanja bandwidth dan pembelian perangkat yang rata-rata saat ini menggunakan dolar Amerika Serikat (USD).

“Secara langsung sangat berdampak pada biaya operasional perusahaan. Terlebih lagi untuk stok barang yang tidak tersedia sehingga harus dilakukan import dengan harga yang lebih mahal akibat imbas naiknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah,” tulisnya.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Akbar Evandio
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper