Menuju Kemerdekaan Sinyal dan Finansial di Indonesia

Leo Dwi Jatmiko
Selasa, 27 Agustus 2019 | 13:16 WIB
Satelit Merah Putih pada posisinya yang siap diluncurkan di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Senin (6/8/2018). Satelit milik PT. Telkom Tbk., itu diluncurkan pada Selasa (7/8/2018) dini hari waktu setempat./ANTARA-Saptono
Satelit Merah Putih pada posisinya yang siap diluncurkan di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Senin (6/8/2018). Satelit milik PT. Telkom Tbk., itu diluncurkan pada Selasa (7/8/2018) dini hari waktu setempat./ANTARA-Saptono
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Seperti peribahasa sekali dayung, dua tiga pulau terlampui, proyek-proyek yang diselenggarakan pemerintah melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) pun demikian, tidak hanya memberi angin segar kepada penduduk di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dengan menghadirkan sinyal, tetapi juga kemerdekaan secara finansial.

Dalam memerdekan sinyal di kawasan 3T, Bakti memiliki empat layanan yaitu akses internet, penyediaan Base Tranceiver Station (BTS), Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Palapa Ring  dan Satelit Multifungsi Satria.

Pelaksanaan layanan tersebut menggunakan dana Universal Service Obligation (USO) yang diambil dari pendapatan operator seluler sebanyak 1,25% per tahun.

 Direktur Utama Bakti, Anang Latif mengatakan dalam program akses internet,  Bakti berusaha menghadirkan internet dalam bentuk jaringan nirkabel atau Wifi yang dipasang di sejumlah instansi pemerintah seperti sekolah, kantor pemerintahan, Puskesmas dan lain-lain.

Tercatat hingga saat ini terdapat 4.400 titik yang telah menerima akses internet. 80% program ini memanfaatkan satelit untuk menyuntikan internet.

 Rata-rata kecepatan yang diterima oleh setiap titik sebesar 2—8 Mbps. Angka tersebut diproyeksikan bertambah menjadi 20 Mbps per desa, ketika Satelit Satria telah mengorbit.

Dalam program tersebut, kata Anang, Bakti tidak hanya menghadirkan internet namun juga bimbingan dalam memanfaatkan internet, bekerja sama dengan Siberkreasi.

 Tujuannnya agar para penduduk di 3 T tidak hanya merasakan kehadiran sinyal internet, namun juga dapat memanfaatkan secara positif sehingga taraf hidup mereka membaik.   

Dalam kaca mata Anang, internet tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas tentang keindahan alam atau tempat wisata yang terdapat di daerah 3 T, sehingga akan datang wisatawan ke daerah tersebut yang secara tidak langsung menghidupkan perekonomian di sana.

Di samping itu, Anang juga berpendapat bahwa internet dapat dimanfaatkan oleh petani sekitar untuk menggali informasi mengenai pertanian dan perkebunan seperti harga bibit dan cara merawat tanaman.

Ke depannya, dia berharap internet dapat memangkas rantai distribusi sehingga penjual dan pembeli dapat langsung terhubung, sehingga biaya lebih efisien dan petani diuntungkan.

“Jadi kalau dahulu pilihan para petani hanya menjual ke tengkulak atau pengepul, dengan internet pilihan mereka lebih luas,” kata Anang kepada Bisnis.com, Minggu (25/8/2019).

pemerataan jaringan internet
pemerataan jaringan internet

KEMERDEKAAN FINANSIAL

Perbaikan taraf hidup hanya lah, satu dari sekian manfaat program-program Bakti dalam memberikan kemerdekaan finansial. Arti merdeka finansial dari program Bakti sudah dirasakan lebih dahulu oleh industri satelit dan kabel komunikasi bawah laut.    

Dalam program Satelit Multifungsi Satria misalnya, program menghadirkan internet berkecepatan tinggi ke 149.000 titik daerah 3T, yang meliputi sarana pendidikan atau sekolah sebanyak 93.900 titik, kantor pemerintah sebanyak 47.900 titik, Puskemasn sebanyak 3.700 titik dan markas polisis dan TNI sebanyak 3.900 titik.

Pertimbangan pemerintah dalam menggunakan satelit karena efisiensi biaya dan cakupan yang luas dibandingkan dengan menggunakan serat optik. Biaya gelaran serat optik lebih mahal, waktu lebih lama dan  juga sulit dalam menembus medan di kawasan 3T.

Tidak hanya itu, dengan satelit multifungsi yang merupakan satelit khusus internet, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dalam megabit per detik (Mbps), juga terhitung lebih murah dibandingkan dengan satelti konvesional yang ada saat ini. 

“Misal, jika menggunakan satelit konvesional pemerintah harus mengeluarkan uang hingga Rp18 juta untuk setiap megabit per detik (Mbps), sementara itu, jika menggunakan satelit HTS, biaya yang dikeluarkan hanya Rp6 juta per Mbps,” kata Anang.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengklaim bahwa Satelit Multifungsi Satria sebagai satelit terbesar di Asia saat ini untuk kelas 150 Gbps dan nomor lima terbesar di dunia dari sisi kapasitas, yang akan menyalurkan internet ke 150 ribu titik strategis.

Hadirnya program satelit  ternyata memberi nafas segar bagi industri satelit di Indonesia yang frekuensinya sedang tertekan oleh tuntutan 5G. Program Bakti membuat bisnis satelit menjadi lebih terukur.

Bisnis satelit membutuhkan biaya investasi besar namun usia barangnya  tidak lama atau hanya 15 tahun. Hadirnya program Bakti  memberi kepastian terhadap kapasitas data yang akan digunakan sehingga operator satelit dapat berhitung.

“Kalau melihat kebutuhan Bakti kan nampaknya bisnis satelit kian bergairah. Karena satelit kan bisnis mahal, umur pendek tapi pengguna fluktuatif . Namun dengan kebutuhan Bakti maka penggunanya jelas,” kata Direktur Eksekutif ICT Heru Sutadi.

INDUSTRI SATELIT

Sementara itu, Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan mengatakan pada 2019 diperkirakan industri satelit tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan 2018, didorong oleh peningkatan penggunaan kapasitas data. 

Saat ini penggunaan kapasitas satelit di Indonesia sebanyak 189 transponder atau sekitar 20 Gbps. Dari kapasitas tersebut, sambungnya, sebanyak 99% menggunakan satelit konvensional yang 77% diantaranya disuplai oleh satelit nasional.

Angka tersebut diproyeksikan naik 100% menjadi 40 Gbps, seiring dengan hadirnya program-programmilik Bakti nantinya. 

"Pertumbuhan didominasi oleh kebutuhan pemerataan infrastruktur dan layanan telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia melalui program layanan Akses Internet (BAKTI Aksi) dan layanan backhaul BTS (BAKTI Sinyal)," kata Hendra.

satelit
satelit

STASIUN BUMI

Tidak hanya bagi industri satelit, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga akan menerima ‘durian runtuh’ dari program ini, seiring dengan komitmen pemerintah dalam mendorong UMKM untuk terlibat dalam pengadaan stasiun bumi atau ground segment.

Rencananya Bakti mulai mempersiapkan penggelaran infrastruktur stasiun bumi atau ground segment untuk 150.000 titik pada 2020, sebagai upaya mendorong program penyediaan akses internet yang merata.

Bakti menyampaikan dana senilai Rp20,68 triliun yang sebelumnya dikeluarkan pemerintah kepada PT Satelit Nusantara Tiga, belum termasuk biaya untuk menggelar stasiun bumi atau ground segment

Proses tender untuk stasiun bumi akan lebih sederhana karena pemerintah menggunakan Badan Layanan Umum (BLU) untuk menggelar infrastruktur ground segment

Stasiun bumi merupakan bagian dari sistem transmisi satelit yang terletak di bumi dan berfungsi sebagai stasiun terminal yang mengubah sinyal base band dan/atau sinyal frekuensi suara, menjadi sinyal dengan frekuensi radio, dan lain sebagainya. Stasiun bumi meliputi antena parabola VSAT,  Low Noise Block (LNB), Block Up Converter (BUC),  Modem, dan router.

stasiun bumi
stasiun bumi

Bakti memperkirakan harga satu Vsat untuk skala 150.000 titik dikisaran US$ 500 -1.000 atau setara dengan Rp7,1 juta -  Rp14,2 juta (IDR 14.200). Dengan nilai tersebut artinya pemerintah akan menyiapkan dana sekitar Rp1,65 triliun – Rp2,13 triliun untuk membangun ground segment di 150.000 titik.

Tidak berhenti sampai program satelit dan akses internet saja, program SKKL Palapa Ring yang saat ini telah rampung seluruhnya, juga memberi ‘cuan’ bagi industri penyedia infrastruktur telekomunikasi, khususnya PT Mora Telematika Indonesia.

Diketahui dalam menggarap proyak SKKL Palapa Ring Timur, Moratelindo hanya menganggarkan belanja modal senilai Rp5,2 triliun, untuk membangun backbone sepanjang 8,454 Km. Dari investasi tersebut, Moratelindo mendapat kontrak senilai Rp14 triliun yang dicicil pemerintah selama 15 tahun

Begitupun, SKKL Palapa Ring Barat, jumlah dana yang digelontorkan senilai Rp1,2 triliun, untuk menggelar backbone sepanjang 2.131 Km, dengan total nilai kontrak sebesar Rp3,5 triliun.   

Angka tersebut belum termasuk biaya tambahan jika Moretelindo berhasil menawarkan operator lain untuk bergabung dengan Palapa Ring

“Modal Rp 5,2 triliun, dapat Rp14 triliun, udah cuan itu,” kata Jimmy Kadir. CFO Moratelindo

Dengan sejumlah manfaat yang diberikan, kita mungkin sepakat bahwa program Bakti, tidak semata-mata memberi kemerdekaan sinyal bagi daerah 3T, namun juga membuat sejumlah industri telekomunikasi semakin bergairah ditengah ketatnya persaingan dan perang harga di industri telekomunikasi.

Jika semua program telah berjalan, apa lagi manfaat program Bakti terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah? Kita tunggu saja.

palapa ring
palapa ring
 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper