Alasan Pemerintah Getol Dorong Operator Seluler Merger

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 2 Mei 2019 | 15:54 WIB
Teknisi PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) melakukan pemeliharaan perangkat pada menara Base Transceiver Station (BTS) di kawasan Lok Baintan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Minggu (15/4/2019)./Bisnis-Rachman
Teknisi PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) melakukan pemeliharaan perangkat pada menara Base Transceiver Station (BTS) di kawasan Lok Baintan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Minggu (15/4/2019)./Bisnis-Rachman
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Konsolidasi operator seluler sudah menjadi wacana yang didorong oleh pemerintah sejak 2015. Kini, pemerintah sedang menyusun regulasi teknis dalam bentuk peraturan menteri agar segala perhitungan bisnis dari upaya konsolidasi bisa disiapkan dengan baik.

Ismail, Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sekaligus Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPl) mengatakan terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan terkait usaha konsolidasi. Pertama, katanya, adalah tujuan dari konsolidasi itu adalah membuat sehat industri agar tercipta sustainability dari pembangunan infrastruktur.

"Dengan terjadinya konsolidasi maka segmen pasar yang tersedia itu cukup sehat untuk dibagi dengan jumlah operator yang tersedia," kata Ismail di Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Ismail menambahkan bahwa saat ini kondisi pasar terlalu ketat dengan jumlah operator yang sudah banyak membuat persaingan menjadi tidak sehat sehingga keberlangsungan, salah satunya terkait pembangunan infrastruktur telekomunikasi, menjadi berkurang khususnya di daerah-daerah.

Hal kedua yang perlu dipertimbangkan adalah soal frekuensi. Frekuensi sebagai sumber daya sangat penting bagi kelanjutan dari merger. Operator seluler, menurutnya, terus menanyakan kepada regulator terkait kebijakan pemerintah soal frekuensi pascakonsolidasi.

Ismail menjelaskan bahwa pemerintah, pada dasarnya, akan melakukan evaluasi atas kebutuhan frekuensi setelah merger. "Kemudian evaluasi yang paling pas untuk jumlah perusahaan baru itu frekuensi berapa itu akan kami terbitkan," kata Ismail.

Ismail mengatakan, BRTI tengah membahas formulasi mengenai cara regulator dalam melakukan evaluasi agar transparan sehingga operator bisa melakukan perhitungan ketika melakukan merger. Hal ini menurutnya bisa mempengaruhi biaya dari merger itu sendiri.

Terakhir adalah isu soal pelanggan. Ismail menuturkan dengan adanya konsolidasi, pelanggan akan diuntungkan karena akan terjadi sebuah perusahaan yang sehat dalam memberikan layanan kepada publik.

Perusahaan sehat adalah korporasi yang secara berkelanjutan membangun dan memberikan kualitas layanan yang maksimal. Sebaliknya, ketika perusahaan tidak sehat, kualitas layanan pun tak akan bisa terjaga. "Walau demikian, pemerintah tetap mengembalikan hal tersebut ke operator atau induk perusahaannya. Konsolidasi itu adalah keputusan pemegang saham, para shareholder inilah yang akan menentukan ingin konsolidasi atau tidak," kata Ismail.

Terkait dengan hal ini, Ismail menyebut sejauh ini sejumlah pemilik sudah memiliki pemikiran yang sejalan terkait dengan kelanjutan dari perusahaan telekomunikasi miliknya itu bisa berjalan baik.

Selain itu, ia menyebut bahwa mereka secara garis besar sama-sama ingin industri telekomunikasi di Indonesia baik sehingga infrastruktur telekomunikasi di Indonesia tumbuh.

"Industri telekomunikasi berbeda dengan infrastruktur jalan, jembatan dan airport, karena infrastrukturnya dilakukan oleh para pelaku usaha sendiri. Makanya kesehatan industri sangat penting," kata Ismail. 

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper