Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat telekomunikasi dan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai rendahnya minat masyarakat untuk bermigrasi ke teknologi e-SIM disebabkan oleh tidak adanya keunggulan signifikan dibanding kartu SIM fisik.
Ditambah lagi, mayoritas perangkat di Indonesia masih menggunakan kartu SIM konvensional.
“Ya karena kemudahan pindah-pindah operator dengan SIM card biasa dibanding e-SIM. Dan tidak ada kelebihan e-SIM membuat pengguna malas migrasi, tambah lagi tidak semua ponsel sudah bisa e-SIM,” kata Heru saat dihubungi, Kamis (10/7/2025).
Heru juga menyoroti mayoritas masyarakat pengguna prabayar masih berharap bisa bebas berganti nomor. Namun, penggunaan e-SIM dinilai kurang fleksibel dalam hal ini.
Di sisi lain, Heru menilai penerapan teknologi biometrik dan e-SIM akan berdampak baik jika sistem keamanannya bisa dijamin.
“Dampak penerapan bagus sepanjang data biometriknya juga dijaga secara aman,” katanya.
Namun, dia mengingatkan penggunaan data biometrik tidak bisa sembarangan karena termasuk data pribadi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Biometrik terganjal UU PDP karena biometrik adalah data pribadi spesifik, tidak bisa sembarangan diambil dari masyarakat. Termasuk harus diamankan secara khusus juga,” kata Heru.
Dia pun menekankan perlunya transparansi terkait penggunaan data biometrik sebelum sistem ini diimplementasikan secara luas.
“Sebelum diimplementasikan, dipastikan data apa yang dipakai, bagaimana metode registrasi, penyimpanan data, dan keamanan datanya. Masyarakat terus terang ragu kalau pakai biometrik dan e-SIM,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyoroti lambannya adopsi teknologi e-SIM di Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyebut dari sekitar 25 juta perangkat yang sudah mendukung teknologi e-SIM, baru satu juta yang bermigrasi.
“Kami tahu bahwa belum semua menggunakan e-SIM, namun demikian kami melihat celah dari 25 juta ponsel yang sudah berteknologi e-SIM, baru satu juta yang migrasi,” kata Meutya dalam Rapat Kerja bersama Komisi I DPR pada Senin, 7 Juli 2025.
Meutya menjelaskan migrasi ke e-SIM penting untuk meningkatkan efisiensi serta keamanan data, khususnya dalam pengembangan layanan digital seperti Internet of Things (IoT). Proses migrasi ini juga mencakup pembaruan data pengguna dan verifikasi biometrik.
Meski begitu, Meutya menekankan bahwa pemerintah belum mewajibkan migrasi penuh ke e-SIM.
“Bahasa permennya [Permen/Peraturan Menteri] tidak demikian, bahasa permennya adalah mendorong untuk kemudian migrasi ke e-SIM,” katanya.
Untuk SIM fisik, Meutya menyebut saat ini sudah ada regulasi yang membatasi kepemilikan nomor berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) maksimal tiga nomor. Pemerintah pun tengah mengkaji penerbitan regulasi baru yang akan mengatur sanksi bagi operator seluler yang melanggar ketentuan ini.
“Permen itu belum mengatur sanksi ya, ini yang sedang kami eksersais, mungkin kami akan keluarkan permen baru yang mengatur sanksi bagi operator seluler yang tidak mematuhi itu,” ungkapnya.
Mengutip laman resmi Komdigi, e-SIM merupakan evolusi dari teknologi SIM card fisik yang telah terintegrasi langsung ke dalam perangkat, sehingga tidak memerlukan kartu fisik untuk mengakses layanan seluler.
Selain mendukung efisiensi, e-SIM membuka peluang bagi pengembangan teknologi wearable, machine-to-machine (M2M), dan IoT.
Registrasi pelanggan e-SIM dilakukan melalui verifikasi data biometrik seperti pengenalan wajah (minimal 90% akurasi) dan/atau sidik jari (100% akurat), yang divalidasi langsung dengan data kependudukan dari Ditjen Dukcapil.
Meutya menyebut pemanfaatan teknologi e-SIM dan biometrik akan menjadi fondasi sistem komunikasi masa depan.
“Dengan lebih dari 350 juta pelanggan seluler di Indonesia, kita membutuhkan sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga mampu memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat dari kejahatan digital yang lebih aman, efisien, dan terpercaya,” katanya.
Komdigi, melalui Direktorat Jenderal Ekosistem Digital (DJED), mewajibkan seluruh operator telekomunikasi untuk menerapkan sistem manajemen keamanan informasi berbasis ISO 27001 dan memastikan perlindungan data pribadi sesuai peraturan yang berlaku.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi risiko kebocoran data dan tindak kejahatan siber lainnya, serta mewujudkan ekosistem digital yang lebih aman, inklusif, dan transparan.