Pemerintah Diminta Percepat Revisi PP Interkoneksi Selular

Sukirno
Kamis, 3 November 2016 | 19:22 WIB
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara/Antara-Tommy Saputra
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara/Antara-Tommy Saputra
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan untuk mempercepat revisi PP No.52/53 dalam rangka efisiensi industri telekomunikasi dan untuk keadilan masyarakat di seluruh Indonesia.

Hal itu diperlukan untuk memberi kepastian bagi industri telekomunikasi ditengah pesatnya perkembangan teknologi informasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dan perekonomian nasional.

Demikian salah satu hasil diskusi yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (3/11/2016).

Seminar ini dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sebagai keynote speaker, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Achmad M. Ramli.

Kemudian, Direktur Eksekutif INDEF Eni Sri Hartati, pakar kebijakan publik Agus Pambagio, pakar telekomunikasi Nonot Harsono, Ketua YLKI Tulus Abadi, dan Anggota Komisioner KKPU Prof. Tresna Priyatna.

Seminar bertema Mendorong Efisiensi Berkeadilan Industri Telekomunikasi Nasional diselenggarakan oleh INDEF ini menjadi forum diskusi guna memberikan masukan dan pandangan stakeholder kepada pemerintah dalam rangka penataan regulasi di sektor telekomunikasi yang mampu mendorong perekonomian nasional.

Sektor telekomunikasi dinilai memiliki posisi strategis dan peran penting untuk mendorong roda perekonomian nasional.

Rudiantara menjelaskan potensi ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai US$130 miliar pada tahun 2030, akan tetapi masih banyak tantangan yang harus diselesaikan untuk merealisasi ekonomi digital Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan.

"Bahkan dalam rapat di Istana kemarin, Menkeu Sri Mulyani meminta target pertumbuhan yang tinggi dari sektor saya [kominfo] pada 2018, setelah sektor keuangan dan perbankan," kata dia.

Saat ini, jelas Menkominfo, backbone, broadband, dan kapasitas jaringan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. Setidaknya dibutuhkan US$12 miliar per tahun untuk meningkatkan kemampuan digital Indonesia secara nasional.

Sementara itu, apabila kemampuan keuangan seluruh operator telekomunikasi di Indonesia digabungkan pun tetap tak akan mampu menutup biaya tersebut. Masih ada gap sebesar US$ 9 miliar.

Padahal, pertumbuhan industri telekomunikasi nasional ditargetkan harus mencapai double digit pada 2018, sesuai arahan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Prof. Dr. Ahmad Ramly, telah merumuskan empat poin untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan tersebut dengan cara yang paling solutif dan efisien, yakni konvergensi, interkoneksi, network sharing, dan akses layanan publik dan layanan prima serta menjadi solusi yang paling cepat dan efektif.

Pakar kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan pemerintah sebaiknya segera mengesahkan revisi PP no. 52/53 untuk mengakhiri polemik sehingga masyarakat cepat mendapatkan manfaat dan menjadi katalisator untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia.

"Ekonomi kita tidak akan jalan ke mana-mana jika hal ini terus dipolemikkan. Apalagi soal interkoneksi, dalam beberapa tahun ke depan akan hilang karena semua tren akan beralih ke data, apalagi bila Palapa Ring sudah tersambung," ujarnya.

Agus menambahkan network sharing itu membangun bersama-sama secara gotong royong sehingga jaringan broadband bisa direalisasikan lebih cepat dengan biaya yang lebih efisien.

Menurut Agus, tidak perlu membawa isu nasionalisme tetkait revisi PP 52/53. Ini bukan masalah operator merah-putih lawan operator asing, karena semua operator besar di Indonesia ada pemegang saham asingnya semua, ujar Agus.

Agus minta kebijakan interkoneksi yang baru dan revisi PP diselesaikan minggu depan di Kementerian Koordinator Perekonomian lalu segera ke Presiden untuk disahkan kemudian diimplementasikan.

Menurut pakar telekomunikasi, Nonot Harsono, banyak disebarkan opini yang keliru yang menghambat revisi PP ini. Opini keliru yang pertama itu adalah RAN sharing diinfokan numpang BTS, yang benar ini dibangun secara gotong royong.

Backbone sharing dibilang penumpang gelap. Padahal tetap bayar sewa, utilitas naik dan revenue pemilik backbone meningkat, ujarnya.

Regulasi PP itu tata kelola pemanfaatan teknologi untuk masyarakat, bukan untuk individu tertentu apalagi untuk korporasi.

Dari sisi persaingan usaha, Tresna Priyatna, anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), mengatakan bahwa konsep active infrastructure sharing adalah positif dalam konteks persaingan karena menghilangkan potensi penyalahgunaan posisi dominan kepemilikan infrastuktur oleh operator besar.

Keterbukaan infrastructure, network, dan interkoneksi memungkinkan pemain baru yang kompeten untuk masuk ke pasar dengan cepat. Selain itu, peningkatan pelayanan yang lebih terjangkau, berkualitas, dan cepat dapat diwujudkan. Semuanya demi mendukung kesejahteraan, jelas Tresna.

Dia menambahkan competition checklist beberapa peraturan presiden (perpres) antara KPPU dan Kemenkominfo akan segera keluar, agar setiap regulasi terawasi dan fair sebagai tindakan preventif sesuai persaingan sehat.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Sukirno
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper