Bisnis.com, JAKARTA--Penurunan tarif interkoneksi alias interaksi antar operator dinilai bisa lebih dari 26% seperti yang direncanakan oleh pemerintah.
Chairman Mastel Institute Nonot Harsono mengkritik rencana pemerintah menurunkan tarif interkoneksi atau biaya interaksi antar operator sekitar 26%. Seharusnya, penurunan tarif interkoneksi bisa melebihi angka itu lantaran ada anomali atau ketidaksesuaian dari para operator dalam skema penghitungan tarif interkoneksi.
Nonot menjelaskan, dalam menghitung tarif tersebut pemerintah mendesain sebuah rumusan khusus. Para operator telekomunikasi tinggal menyediakan data yang diinput ke rumus tersebut. Seharusnya, hasil penghitungan atau angka nominal tarif interkoneksi tidak terpaut jauh.
Sebab, para operator berada di suatu negara dengan budaya yang serupa. Artinya, kemampuan bayar dari mayoritas masyarakat juga pasti tak jauh berbeda. Tapi Nonot menemukan, ada raksasa bisnis teknologi informasi (TI) di Indonesia yang tarif interkoneksinya malah menggelembung dua kali lipat.
"Ini tidak sesuai dengan sifat alamiah, ilmu pasar yang lazim kalau skala ekonominya besar pasti lebih efisien, tapi ini kok mahal," ujarnya, Kamis (16/6/2016).
Menurut dia, penurunan tarif interkoneksi hingga 40% sangatlah wajar jika mengacu pada hasil perhitungan pemerintah dari para operator. Terlebih lagi, hasil rumusan tarif interkoneksi dari pemerintah juga mengungkap bahwa pemain dominan meraup hasil hingga dua kali lipat jika dibandingkan operator lain. Untuk diketahui, penurunan tarif ini dilakukan pemerintah guna mengintervensi pasar telekomunikasi agar tak terjadi praktek monopoli.
Secara terpisah, Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, melihat pemerintah harus berani menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan mengingat seluruh provider telekomunikasi di Indonesia tengah berkembang dan semakin efisien. Hanya saja, iklim berkompetisi di bidang ini seakan tak sejalan dengan perkembangan itu.
Menurut dia, inilah tugas pemerintah dalam menjamin adanya persaingan usaha yang sehat di dalam negeri. "Buah dari kompetisi kan kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Nah ini kan bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi," katanya.
Tarif interkoneksi merupakan komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Formula perhitungan tarif interkoneksi ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Heru menambahkan pemerintah merancang regulasi itu pada 2005 dan diundang-undangkan pada 2007, sehingga mestinya direvisi kembali saat ini. Utamanya, soal penurunan tarif secara bertahap yang dinilai melestarikan praktek monopoli.
Dia menggarisbawahi sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator. Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. "Kompetisi tidak terjadi, nah penurunan biaya interkoneksi ini diharapkan memicu adanya kompetisi," ujar Heru.
Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar. Kasus seperti itu banyak ditemui di Indonesia bagian timur.
Sementara membangun infrastruktur penunjang luas jaringan tak bisa dikatakan murah. Sehingga memang tak semua operator bisa menjangkau daerah terluar Indonesia yang sedang berkembang. “Nah, tarif interkoneksi atau off-net yang murah antar provider bisa dijadikan solusi mengatasi kebuntuan itu,” paparnya.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya selalu terbuka atas masukan dari stakeholder terkait rencana pemerintah menurunkan biaya interkoneksi. Namun dikatakannya, pemerintah telah memiliki hitung-hitungan sendiri soal penurunan biaya interkoneksi.
"Ya, kalau interkoneksi kan bervariasi. Ada yang minta rendah dan ada yang meminta tinggi. Bagi saya, silakan kasih masukan kepada pemerintah, tapi pada akhirnya kita punya angka sendiri yang paling optimal untuk industri secara keseluruhan," kata Menkominfo.
Pada dasarnya, keputusan pemerintah menurunkan biaya interkoneksi tersebut merupakan langkah agar industri telekomunikasi lebih efisien. "Balik lagi bagaimana kita melihat industri ini lebih efisien. Industri efisien itu melihat dari komponen biayanya. Biaya komponen itu apa, ada macem-macem".
"Ada interkoneksi, ada cash cost dan non cash cost. Kalau non cash cost itu, bukan cash biaya keluar. Ya itu dari apa, dari depresiasi. Depresiasi adalah fungsi dari investasi. Itu semua harus diupayakan turun. Regulasi yang dibuat itu harus menyasar biaya itu turun. Jadi interkoneksi bukan satu-satunya. Semua termasuk regulatori cost," katanya.