Twitter Sulit Prediksi Hasil Pemilu

Martin Sihombing
Kamis, 18 Februari 2016 | 00:07 WIB
Messenger twitter/digitalspy.co.uk
Messenger twitter/digitalspy.co.uk
Bagikan

Bisnis.com, NEW YORK -  Dalam politik, semua pemberitaan adalah hal baik bagi calon tertentu, tidak peduli apakah berita tersebut baik atau buruk. Namun, prinsip tersebut tidak berlaku untuk cuitan di media gaul Twitter, kata kesimpulan penelitian Social Science Computer Review.

Kenyataannya, penelitian itu menemukan bahwa sangat sulit memperkirakan hasil pemilihan umum berdasarkan atas jumlah cuitan di Twitter, yang diperoleh calon.

Penelitian itu --yang kaitannya terhadap pemilu Amerika Serikat tahun ini dibantah Twitter-- berpusat pada pemungutan suara di Jerman pada 2013 dan menemukan bahwa data Twitter lebih cermat untuk mengukur ketertarikan terhadap calon daripada besarnya dukungan, yang akan mereka terima.

"Kejadian buruk, seperti, skandal politik, dan juga peristiwa positif, seperti prestasi, bisa menjadi pemicu ketertarikan terhadap sebuah partai atau kandidat," kata penelitian itu, yang disiarkan pada Senin.

Namun demikian, skandal dan prestasi mempengaruhi level dukungan bagi kandidat dengan cara yang sangat berbeda.

"Ulasan ini tidak mendukung rumus sederhana bahwa lebih banyak cuitan, lebih banyak suara," kata temuan penelitian itu.

Sebagai contoh, cuplikan video kampanye seorang kandidat yang disiarkan oleh stasiun televisi mungkin akan memicu perhatian besar di Twitter. Namun, perhatian itu kemungkinan besar tidak akan menghasilkan dukungan politik.

"Volume harian cuitan di Twitter yang merujuk pada para kandidat atau partai berfluktuasi bergantung pada peristiwa apa yang terjadi pada hari tersebut--seperti debat politik di televisi, wawancara tokoh, ataupun penyiaran skandal," kata penilitian itu.

Data juga menunjukkan bahwa pengguna Twitter tidak mencerminkan demografi populasi secara keseluruhan. Di Amerika Serikat, platform media sosial seperti Twitter dan Yik Yak lebih populer di kalangan pemilih muda.

Sementara itu, juru bicara Twitter, Nick Pacilio, menyatakan bahwa studi tersebut tidak relevan dengan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini.

"Saya menyarankan agar Anda mengabaikan data Twitter di Jerman tiga tahun lalu untuk konteks pemilihan umum Amerika Serikat tahun 2016," kata Pacilio, juru bicara Twitter untuk urusan pemberitaan dan pemerintahan.

Pacilio mengutip berita dari majalah Time yang menunjukkan bahwa perbincangan di Twitter bisa memprediksi kemenangan bakal calon Partai Demokrat Hillary Clinton dan Partai Republik Donald Trump dalam konvensi di negara bagian Iowa pada bulan ini.

Calon dari Partai Demokrat dan Republik kini bertarung memperoleh nominasi partai demi maju dalam pemungutan suara tanggal 8 November mendatang untuk menggantikan Presiden Barack Obama.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA/Reuters
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper