Regulasi Telekomunikasi Masih Lemah, Perlu Ada UU Konvergensi

Deliana Pradhita Sari
Sabtu, 7 September 2013 | 19:34 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Evita Nursanty, anggota komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan mengungkapkan sangat prihatin dengan apa yang terjadi dengan dunia industri telekomunikasi saat ini.

“Memang kasus indosat dan IM2 sudah kena vonis bersalah, meskipun pihaknya mengajukan banding, tetapi yang kami sayangkan adalah regulasi yang tak jelas,” katanya saat dihubungi Bisnis, Sabtu (7/9/2013).

Kejaksaan mengacu pada undang-undang yang diyakini benar, sedangkan Komisi I DPR, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan industri telekomunikasi mengacu pada perspektif dari sudut pandang yang tak sama dengan kejaksaan.

“Undang-undang konvergensi harus dibahas agar beberapa pihak tak melihat dari sisi undang-undang yang berbeda, karena selama kasus ini bergulir, ada yang melihat dari UU IT dan UU yang lainnya,” ujarnya.

Aturan mengenai UU telekomunikasi harus menjadi satu konvergensi agar memiliki satu kesatuan dasar hukum yang kuat. Apalagi ke depannya kita akan lebih menghadapi era digital yang semakin kompleks, agar tidak ada kemungkinan celah gugatan hukum.

Lemahnya regulasi seperti ini, katanya, harus diwaspadai kemudian diluruskan. Harus ada juga undang-undang yang mengatur benar tentang frekuensi apa yang digunakan pada Internet Service Provider (ISP) dan dasar hukum digitalisasi tentang lembaga penyiaran penyelenggara penyiaran multipleksing (LP3M) dan lembaga penyiaran penyelenggara siaran (LP3S).

Tentang pemberlakuan ISP yang tidak lagi harus memiliki POP nasional dan pemberlakuan layanan online perizinan penyelenggaraan telekomunikasi (elicensing), Ervita mengaku belum dibicarakan lebih lanjut di DPR, masih dalam proses penggodokan.

Ervita juga tak mau berkomentar mengenai pertimbangan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) untuk mengajukan uji materi mengenai penghapusan biaya hak penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi yang tidak jelas tujuannya yang dikenakan ke ISP sebesar 0,5% dari pendapatan kotor per tahun.

“Saya tidak dapat berkomentar karena saya belum mendapat alasan-alasannya mengenai penghapusan BHP telekomunikasi,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper