Review telekomunikasi: Dari sedot pulsa sampai penataan 3G

Lingga Sukatma Wiangga
Rabu, 26 Oktober 2011 | 21:02 WIB
Bagikan

JAKARTA: Dalam sebulan terakhir, perhatian masyarakat pengguna telekomunikasi, pemerintah dan DPR tersedot pada kasus pencurian pulsa oleh sejumlah content provider dan operator telekomunikasi.

 

Tak tanggung-tanggung, kabarnya kerugian pelanggan karena sedot pulsa tersebut bisa mencapai Rp900 miliar per bulan, yang didapat dari menguapnya pulsa pelanggan tanpa terasa sebanyak Rp4.000-Rp6.000 per bulannya.

Sebenarnya, kasus penyedotan pulsa sudah terjadi sejak lama, tetapi kurang tegasnya regulator menjadikan persoalan tersebut seperti api dalam sekam dan saat ini baru benar-benar meledak.

Padahal dalam Permenkominfo No. 1/2009 jelas jelas dikatakan bahwa setiap layanan konten seluler wajib dilaporkan kepada BRTI, lengkap dengan mekanisme dan cara kerjanya, termasuk nomor call center yang bisa dihubungi.Kekurangtegasan dari regulator tersebut membawa konsekueni kerugian di pihak konsumen maupun content provider itu sendiri, mengingat, ulah segelintir CP nakal malah mengancam industri kretif sektor teknologi informasi tersebut.

 

BRTI dan pemerintah seharusnya melihat ini sebagai aset yang sangat berharga, sebagai salah satu pendorong ekonomi nasional. Sangat disayangkan apabila hanya karena sejumlah CP saja, industri yang perputaran uangnya mencapai Rp4,8 triliun per bulan itu harus meredup. Pengawasan yang lebih ketat dan pemberlakuan aturan main yang tegas, termasuk Permenkominfo No. 1/2009 merupakan salah satu solusi agar industri tersebut tetap tumbuh, dan di sisi lain, konsumen tidak ada lagi yang dirugikan

Penataan pita 3G

Keengganan Telomsel untuk menggeser kanal 3G nya membuat persoalan penataan pita 3G menjadi berlarut-larut.

 

Telkomsel menganggap Kanal 3G yang sudah dimiliki saja belum dimanfaatkan optimal oleh operator yang bersangkutan, ini masih minta kanal baru. Operator itu juga menganggap pemindahan kanal akan membuat layanannya terganggu dan pelanggannya yang sudah mencapai lebih dari 100 juta orang akan dirugikan.

Apabila Telkomsel enggan bergeser, maka operator di sebelahnya, yaitu PT Axis Telekom Indonesia tidak kebagian tambahan kanal 3G sebesar 5 MHz.

Pasalnya, blok yang saat ini ditempati Telkomsel akan dialokasikan kepada operator lain. Dalam surat tersebut juga dituliskan secara jelas bahwa keseluruhan proses migrasi akan dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan dan akan dimulai sejak Menkominfo mengeluarkan keputusan terkait penataan pita frekuensi 2.1 GHz.   Pengalokasian kanal kedua 3G ini sebenarnya telah selesai dibahas dan telah ditetapkan oleh Keputusan Menkominfo No 268 Tahun 2009, tentang Penetapan Alokasi Tambahan Blok Pita Frekuensi Radio bagi Penyelenggara jaringan Bergerak Selular pada Pita 2.1 Ghz.      Keengganan Telkomsel untuk bermigrasi membuat dua operator seluler, PT Axis indonesia (Axis) dan PT Hutchison CP Telecom (Tri) baru mendapatkan satu blok dengan total frekuensi yang terpakai 40 MHz. Sementara, tiga operator lainnya, seperti PT Telkomsel, PT XL Axiata dan PT Indosat sudah mendapat jatah dua blok.

 

Tak kurang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun ikut mengawasi proses penataan 3G tersebut karena ada dugaan persaingan tidak sehat antaroperator 3G.

Hilangnya PNBP telekomunikasi

Industri telekomunikasi berkembang sangat pesat di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir. Apabila di rata-rata, nilai bisnis industri tersebut dalam lima tahun terakhir mencapai Rp80 triliun setiap tahunnya.Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun lalu Kemenkominfo mencatat PNBP sebesar Rp12,1 triliun atau naik 10%-20% dari target semula. Adapun pada tahun ini, target yang dicanangkan Kemenkominfo adalah Rp11 triliun.Namun, mengkilapnya industri telekomunikasi tak dirasakan sepenuhnya oleh Indonesia, karena minimnya kepemilikan perusahaan lokal di operator telekomunikasi kurang gregetnya regulasi dalam mendesak pelaku usaha menyelesaikan kewajibannya, termasuk kewajiban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika.Sehingga, pajak yang seharusnya dapat dinikmari negara, harus berkurang, bahkan terancam hilang sama sekali. PT Smart Telecom misalnya, yang tidak bersedia membayar BHP hingga tiga tahun.Bahkan, pemerintah atau regulator sampai rela menghitung ulang kembali besaran pajak biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi sejak Januari 2011 meski sampai sekarang juga tak kunjung selesai.Perhitungan ulang besaran BHP frekuensi Smart Telecom yang memiliki 5 kanal di pita 1.900 MHz pun molor hingga beberapa bulan sehingga terancam mengurangi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun ini.PT Smart Telecom meminta pemerintah bersikap adil dan tidak memberlakukan BHP yang sama kepada Smart dengan operator 3G lainnya yang lebih mapan.Pajak yang seharusnya dinikmati negara dari sektor telekomunikasi juga banyak hilang di pita frekuensi 2,5 GHz.Potensi kehilangan pajak dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi di pita 2,5 Ghz adalah sebesar Rp2,4 triliun setiap tahun karena penguasaan yang besar untuk satelit broadcasting sebesar 150 MHz.Di pita tersebut, terdapat PT Media Citra Indostar (Indovision) yang menguasai spektrum selebar 150 MHz dan hanya bayar BHP sebesar Rp300 juta setahun.Sementara operator WiMax atau LTE sanggup membayar Rp2,4 triliun per tahun untuk lebar pita yang sama.Jangan lupa juga, pemerintah juga sepertinya kecolongan dengan operasional Research in Motion melalui BlackBerry di Indonesia yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) Jasa Telekomunikasi.Dengan menerapkan lisensi ISP kepada RIM atas layanan BIS, maka RIM wajib menempatkan exchange point/router/gateway dan server di dalam negeri, dikenakan pajak layanan jasa Internet seperti halnya ISP lain, kewajiban yang equal dengan ISP lain saat diberlakukan filtering, membuka lapangan kerja, karena BIS RIM itu layanannya identik dengan BROOM IM2, maka akan ada perusahaan lokal BIS RIM sekelas IM2 dengan jumlah pegawai ratusan bahkan ribuan orangAsing kuasai telekomunikasiSejak zaman kolonial industri telekomunikasi telah dikuasai asing di mana Telkom baru berdiri. Indosat pun sejak awal lahirnya pada 1967 tak luput dari peran pemodal asing. Baru pada 1980 pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh saham Indosat, sehingga menjadi BUMN.Namun, ternyata asing kembali lagi bermain pada 1993. Saat itu, kebijakan pemerintah RI menempatkan Telkom dan Indosat sebagai dua penyelenggara telekomunikasi lokal yang melakukan praktik monopoli.Saat ini, kepemilikan asing di Smartfren Telecom mencapai 23,91%, Telkomsel 35%, Hultchinson 60%, Indosat 70%, XL Axiata 80%, dan Natrindo 95% dimiliki asing.Kalau boleh diambil rata-ratanya, maka kepemilikan asing akan saham perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia mencapai angka 65%. Kepemilikan saham yang hampir mencapai 65% inilah celah keamanan yang tidak diperhatikan oleh aparat-aparat yang berkepentingan dalam hal ini.Industri satelit compang campingSedikit diatasnya adalah angkasa luar, yang sejatinya juga masih termasuk kedaulatan RI, yaitu tergambar dari sebuah infrastruktur yang disebut satelit.Bicara masalah satelit dalam kaitannya dengan harga diri suatu bangsa, Indonesia pernah kehilangan salah satu aset yang sangat berharga, yaitu slot satelit yang dinotifikasikan ke International Telecommunication Union (ITU). Tak tanggung-tanggung, kita sempat kehilangan 3 slot satelit!Indosat misalnya, merupakan pengelola dua slot satelit yang sempat hilang, yaitu 113 derajat BT dan 150,5 derajat BT. Terakhir kita mendengar ke-3 slot tersebut sudah dapat diselamatkan lagi oleh pemerintah.Entah disadari pemerintah atau tidak, sejumlah pihak memberikan begitu saja filing satelit milik Indonesia ke pihak asing dan mengarahkan pancaran sinyal satelitnya (beam) ke negara lain, bukan ke Indonesia.Sebut saja Satelit Garuda, yang ternyata lebih banyak dimiliki oleh Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) daripada operator satelit Indonesia PT Pasifik Satelit Nusantara.Beam dari satelit Garuda sendiri mengarah ke Indonesia, dan yang menyedihkan, operator satelit Filipina tersebut tidak dibebani biaya hak penggunaan (BHP) satelit atau universal service obligation (USO).Angkasa Indonesia makin teracak-acak dengan adanya peluncuran satelit Protostar yang diklaim Indovision merupakan satelit miliknya. Padahal, menurut situs resmi Protostar dan SES SA, status mereka adalah payload atau menyewa selama 15 tahun atau seumur dengan satelit tersebut di S-Band.Entah kenapa, keberadaan satelit yang merupakan satelit asing tersebut sama sekali “tidak diganggu” pemerintah. Bahkan, Kemenkominfo terkesan melindunginya dengan memperjuangkan filing satelit baru untuk satelit asing tersebut di 108,2 oBT, meski Indonesia sebenarnya sudah memiliki filing di 107,7 oBT.Sangat janggal apabila pemerintah melepas 107,7oBT dan memperjuangkan 108,2 oBT yang mungkin baru bisa dimiliki setelah 7 tahun. Dan selama itu lah, satelit asing milik Protostar yang kemudian dibeli oleh SES SA bebas memberikan layanan di Indonesia melalui Indovision tanpa mengurus hak labuh, apalagi dikenai BHP satelit atau USO.Slot orbit 107,7 oBT secara otomatis tidak bisa digunakan karena akan berinterferensi dengan slot di dekatnya, yaitu 108,2 oBT. Apabila praktik semacam ini terus dilanggengkan, maka Indonesia sebenarnya kehilangan pajak satelit dan dana USO yang lumayan besar. Apalagi, kinerja satelit tersebut tanpa hak labuh sehingga angkasa Indonesia seakan teracak-acak.Manajemen lisensi by accidentPemberian lisensi telekomunikasi di Indonesia dinilai masih menganut manajemen by accident. Hingga saat ini pemberian lisensi tidak berdasarkan desain dan lebih banyak menggunakan manajemen accident.Hal ini dipicu oleh Indonesia belum memiliki roadmap telekomunikasi yang jelas. Transisi dari monopoli ke oligopoli belum pernah dikawal oleh regulasi. Selain itu, jaringan Internet yang sudah membesar menjelang 2000 juga tidak diakomodasi di UU Telekomunikasi No. 36/1999.Lisensi dengan manajemen by accident, berisiko merubah struktur bisnis dari pola PSTN yang vertically-integrated (operator besar) menjadi kolaborasi pengusaha besar dan kecil akibat booming Internet dengan sistem kompetisi terbuka menjadi tidak terkontrol.Investasi jaringan serat optik juga menjadi sangat boros karena semua pemain bernafsu untuk memiliki semua hal. Begitu pula investasi di semua segmen.Akibatnya, utilisasi infrastruktur menjadi sangat rendah akhirnya tarif on-net malah ngawur, belum lagi ditanbah kepanikan untuk tampil cantik di bursa saham.Salah satu contoh pemberian lisensi yang menganut by accident adalah pemberian izin prinsip seluler kepada Bakrie Telecom.Pertarungan WiMax vs LTEKeputusan pemerintah untuk menunda penerapan Long Term Evolution (LTE) boleh dibilang keputusan yang bijak setelah nasib Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMax) terkatung-katung hingga seperti hidup segan mati pun enggan.Layu sebelum berkembang, itu lah kata-kata yang tepat untuk WiMax yang di awal kemunculannya pada sekitar 2005 di Indonesia sangat fenomenal dan digadang-gadang bakal menggantikan peran seluler sebagai sarana komunikasi massal berbasis data atau Internet.Nyatanya, sejak pengumuman pemenang tender WiMax di pita 2,3 GHz pada Juli 2009, layanan berteknologi tinggi itu tak pernah menghampiri masyarakat pengguna Internet di Indonesia. Jangankan mewujudkan mimpi menjadikan Wimax sebagai komunikasi mobile sehari-hari, menjadikannya sebagai backbone pun jauh panggang dari api.Mengapa demikian? Konon, banyak kepentingan yang bermain di balik perkembangan WiMax di Indonesia. Tentunya yang berkepentingan itu adalah para operator seluler 3G dan vendor perangkat telekomunikasi.Perkembangan ke depan sangat tergantung kepada kesiapan, ketersediaan, dan keterjangkauan harga dari terminal pelanggan, content, dan kesiapan jaringan operator yang bisa menjangkau seluruh potensi populasi dengan bandwidth yang tidak terbatas.Bila dilihat dari sisi regulasi, pemerintah memang seakan menganaktirikan teknologi WiMax. Dimulai dari alokasi kanal di mana sebanyak 15 MHz untuk 15 zona pita 2,3 GHz akan dimanfaatkan untuk WiMax 16d. Dari 15 MHz tersebut akan terbagi dalam kanalisasi selebar 3,75 MHz ditambah guard band.Sementara vendor WiMax hanya akan memproduksi peranti end user untuk kanalisasi 2,5 MHz dan 5 Mhz secara massal.Apabila pemerintah tetap jalan dengan kanalisasi WiMax 3,75 MHz, yang bisa mengambil keuntungan adalah operator 3G yang bisa menawarkan harga lebih murah karena investasinya rendah.Selanjutnya, masalah kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di WiMax berlaku ketat pada perangkat jaringan dan customer premises equipment (CPE)-nya, sedangkan 3G ada pada belanja modal (capital expenditure/Capex).Ketentuan TKDN pada capex sangat menguntungkan operator 3G karena pelaksanaan pekerjaan fisik bisa langsung memenuhi TKDN cukup signifikan apabila memakai tenaga lokal.Selanjutnya penentuan standard teknologi WiMax yang di awal langsung menetapkan WiMax 16d atau fixed WiMax yang tidak se-fleksibel dan semassal penggunaannya apabila standard yang dipakai langsung menggunakan WiMax 16e.Dilema WiMax 16eNamun, kebijakan mengubah kebijakan WiMax 16d menjadi WiMax 16e di pita 2,3 GHz dinilai kurang bijaksana karena tentunya akan merugikan operator pemenang tender BWA dan vendor lokal.Seperti diketahui, teknologi WiMax terdiri dari dua standar, yaitu 16d dan 16e. Meski dari sisi pelanggan hal itu sangat menguntungkan, karena 16e memiliki keuntungan mobile, vendor lokal menjerit karena sudah mengeluarkan investasi besar untuk membuat WiMax 16d.Indonesia mengadopsi 16d dengan alasan untuk membangkitkan manufaktur dalam negeri karena penyedia perangkat global lebih banyak bermain di 16e.Namun, belum lagi vendor WiMax lokal memasarkan perangkat WiMax 16d-nya, pemerintah mengubah kebijakan WiMax menjadi berstandar 16e.Vendor lokal dan operator WiMax existing tersebut sudah telanjur mengeluarkan investasi besar untuk membangun dan belanja perangkat WiMax 16d. Belum lagi perangkat tersebut dipakai, pemerintah sudah mengubahnya menjadi WiMax 16e, yang merupakan teknologi terbaru.Kini, meski teknologi LTE ditunda, perubahan dari WiMax 16d ke 16e tentunya tak semudah membalikkan sebelah tangan. Karena tentu saja, masalah perangkat telekomunikasi masih menjadi kendala terbesar. Vendor lokal yang tadinya sudah bersusah payah membangun perangkat 16d, kini seperti dari nol lagi, membangun perangkat 16e.Perubahan kebijakan yang mendadak tentulah tidak menguntungkan iklim investasi. Berbeda apabila pemerintah menggelar tender lagi untuk WiMax 16e di pita 2,3 GHz di bagian bawah yang belum dipakai 16d.Mandulnya BRTIKementerian Komunikasi dan Informatika tengah memiliki hajatan cukup penting dan kurang penting, yaitu penjaringan sekaligus seleksi anggota Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang baru.Harapan tinggi dari industri dan pengguna telekomunikasi adalah memiliki BRTI yang transparan, independen, berwibawa, membela kepentingan masyarakat yang lebih luas meski tetap menjaga agar industri tetap sehat.BRTI juga diharapkan mampu bersikap adil dan profesional dalam menyelesaikan segala persoalan menyangkut telekomunikasi dan frekuensi, dan terbebas dari kepentingan operator tertentu.Namun kenyataannya, regulator selalu kurang punya nyali menghadapi operator, terutama operator besar. BRTI terlalu sibuk mengurusi kepentingan operator, sementara kualitas layanan yang menjadi kebutuhan pelanggan terabaikan.Lunaknya aturan mengenai kualitas layanan yang mengukur kinerja operator dalam setahun menjadikan operator telekomunikasi tak akan mungkin disalahkan, karena persentase kegagalannya dapat dipastikan masih di atas 90%.Padahal, betapa berharganya setiap menit pelanggan untuk berkomunikasi dengan relasi, dan pesan layanan singkat yang dikirimkan.Independensi, mungkin kata itu lah yang selalu jadi trending topic setiap kali membicarakan BRTI. Boleh dikatakan, regulator sampai periode ketiga saat ini, tidak pernah sama sekali independen, baik independen dari pemerintah maupun operator telekomunikasi.Susunan struktural BRTI di bawah Menkominfo dan Dirjen Postel (pada saat pendiriannya) menjadikan lembaga ini tak lebih hanya sekadar staf ahli Dirjen Postel. Keanggotaan BRTI juga masih ada unsur pemerintahnya, sehingga untuk mencapai independensi, terutama dari kepentingan politik sekali pun, masih sangat jauh.Reposisi, atau restrukturisasi organisasi BRTI sangat mendesak untuk dilakukan, itu pun bila pemerintah memang beritikad baik dan melepas persoalan regulasi telekomunikasi sama sekali.BRTI setidaknya harus setingkat menteri dan langsung di bawah Presiden. Kewenangan BRTI juga seharusnya dijabarkan dalam regulasi setingkat UU termasuk memiliki kewenangan menegakkan hukum dan menerapkan law enforcement disertai sanksi yang tegas.Dari periode ke periode, kualitas BRTI juga seakan makin menurun. Bertambahnya anggota bukannya lembaga tersebut makin solid, tetapi malah makin kurang lincah bergerak, karena banyak anggota dengan kepentingan masing-masing di dalamnya.(api)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper