Mastel Ingatkan Urgensi Kedaulatan Jaringan, Belajar dari Kasus Starlink di Iran

Leo Dwi Jatmiko
Kamis, 19 Juni 2025 | 08:14 WIB
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Satelit SpaceX meluncurkan 12 Starlink dari Florida, Amerika Serikat/dok. Tangkapan layar SpaceX
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia diminta untuk lebih waspada dan sadar tentang pentingnya kedaulatan data dan jaringan telekomunikasi belajar dari kasus satelit orbit rendah Starlink di tengah konflik Iran versus Israel.

Indonesia harus mampu mengatur seluruh lalu lintas (trafik) internet yang masuk dan keluar melalui media dan perangkat manapun. 

Diketahui, pemerintah Iran kewalahan dalam mengatur trafik internet di dalam negeri di tengah gempuran rudah Israel. Pemerintah berupaya membatasi internet untuk mencegah kepanikan warga dan serangan siber dari hacker Israel, dengan memangkas 70%-80% trafik.

Di tengah kerja keras tersebut, Starlink Elon Musk yang bermarkas di Florida, Amerika Serikat, justru membuka akses internet Iran.

Starlink memiliki kemampuan untuk menyalurkan internet hingga 220 Mbps melalui ribuan satelit LEO mereka yang berada mengorbit ribuan kilometer di atas langit dunia termasuk di Iran dan Indonesia

Mengenai hal tersebut, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot mengingatkan secara teknis, hal yang terjadi di Iran bisa terjadi juga di Indonesia, tetapi dengan tantangan yang berbeda dibandingkan Iran. 

Kerangka Regulasi di Indonesia seperti UU Telekomunikasi, UU ITE dengan segala turunannya, bisa menjadi daya paksa untuk kepatuhan regulasi termasuk perizinan penyelenggaraan dan penggunaan frekuensi.
“Pilihan upaya penegakkan regulasinya juga ada, tinggal seberapa efektif dapat dilakukan,” kata Sigit kepada Bisnis, Kamis (19/6/2025). 

Ketergantungan Jaringan Asing

Sigit juga menyoroti mengenai isu kedaulatan, baik kedaulatan digital maupun kedaulatan jaringan, dari perspektif kebijakan atas kejadian tersebut. 

Dia menjelaskan secara sederhana, kedaulatan digital merujuk pada kemampuan suatu negara untuk mengontrol data, infrastruktur digital, dan aliran informasi di wilayahnya sesuai hukum nasional, tanpa dominasi asing. 

Sementara itu kedaulatan jaringan, merujuk pada Kemampuan negara menguasai infrastruktur telekomunikasi (jaringan internet, satelit, kabel bawah laut) untuk memastikan keamanan, stabilitas, dan kontrol lalu lintas data. 

“Kondisi saat ini, baik untuk digital maupun jaringan ketergantungan Indonesia masih sangat tinggi, sehingga tanpa kebijakan yang jelas, bisa berdampak pada tergadaikannya kedaulatan,” kata Sigit. 

Dia menuturkan negara-negara lain melakukan upaya serius untuk mengupayakan dan menjaga kedaulatan ini, dengan pendekatan yang tentunya berbeda seusia dengan kondisi masing-masing. Misalnya pendekatan kedaulatan di AS, Uni Eropa dan China berbeda-beda. 

AS, kedaulatan digital melalui dominasi teknologi, kemitraan inovasi swasta dan global governance. Maka untuk digital, AS akan selalu mengupayakan meminimalisir intervensi digital melanggengkan dominasi platform global, atas nama inovasi, kebebasan ekspresi dan lain sebagainya. 

“Sementara, untuk jaringan, berupaya punya kontrol terhadap infrastruktur dengan penguasaan root DNS, cloud computing, juga infrastruktur telekomunikasi, termasuk diatasnamakan kepentingan nasional, keamanan siber, dan lain sebagainya,” kata Sigit.

Sementara Uni Eropa, kedaulatan digital melalui regulasi ketat & perlindungan hak termasuk data dan privasi. Alat yang digunakan EU misalnya GDPR untuk perlindungan privasi data, DMA/DSA untuk regulasi persaingan usaha yang adil. 

“Sedangkan untuk Jaringan, masing-masing negara mempunyai upaya sendiri untuk mengamankan infrastruktur kritisnya,” kata Sigit.

Kemudian untuk China, kedaulatan melalui kendali total, isolasi digital dan kemandirian teknologi. China melihat Internet adalah wilayah kedaulatan nasional, harus dikontrol penuh oleh negara. Ini bisa dilihat dalam Great Firewall, kewajiban lokalisasi data, dan lain sebagainya. 

Sedangkan secara jaringan, lanjutnya, China sudah mencapai taraf kemandirian, dengan kesuksesan Huawei-ZTE di perangkat telekomunikasi, BeiDou di satelit, Alicloud di cloud computing, dan lain sebagainya. Bahkan konon China sudah bersiap dengan scenario kill-switch atau ‘saklar pemutus’ jika terjadi krisis.

Dengan merujuk pada tiga kasus di atas, Sigit menegaskan Indonesia harus punya kejelasan. Indonesia harus berdaulat dalam memilih cara membangun kedaulatannya baik kedaulatan digital maupun kedaulatan jaringan, setelah mendefinisikan kepentingan nasional dalam hal ini.  

“Dapat menjadi agenda bersama untuk Komdigi, BSSN, Polkam, DPN, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan lain sebagainya. Tentunya ini tidak serta merta, perlu langkah serius jangka menengah dan panjang,” kata Sigit.

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper