Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia menduduki peringkat ke-13 di dunia terkait kebocoran data. Hal itu terungkap dalam riset white paper bertajuk ‘Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud’ yang dipublikasi oleh PT Indonesia Digital Identity (VIDA).
“Indonesia berada di peringkat ke-13 secara global untuk kebocoran data, tertinggi di Asia Tenggara, menurut Statistik Pelanggaran Data Global Surfshark [2004−2024],” demikian yangh dikutip dari riset tersebut, Rabu (4/9/2024).
Dari peringkat itu, VIDA menyebut keamanan siber di Indonesia harus ditingkatkan. Pasalnya, kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus.
Angka kebocoran yang terjadi di Indonesia lebih besar jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asean.
Jika dirinci, Malaysia mengalami kebocoran data sebanyak 52.030.140, menyusul ada Thailand sebanyak 48.924.923 data yang bocor, dan kebocoran data di Singapura sebanyak 34.731.337.
Masih merujuk riset ‘Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud’, pertumbuhan CAGR 19,7% Fraud-as-a-Service (FaaS) diproyeksikan tumbuh secara signifikan dari 2022 hingga 2029, dengan dark web yang semakin banyak menjual data curian. Kondisi ini menimbulkan risiko yang terus meningkat.
Bahkan pada 2022, terungkap bahwa US$8,8 miliar hilang akibat serangan penipuan. Selain itu, penipuan pengambilalihan akun juga meningkat 150% secara global.
“Penipu telah berevolusi menjadi operator yang paham teknologi, memanfaatkan AI untuk meningkatkan penipuan digital,” ungkapnya.
Secara global, penipuan yang dihasilkan AI, seperti deepfake, rekayasa sosial atau social engineering(soceng), pengambilalihan akun, dan pemalsuan dokumen tengah meningkat.
Hal ini mengingat Fraud-as-a-Service (FaaS) membuat alat untuk penipuan mudah diakses, meningkatkan kecanggihan serangan phishing dan vishing. Terlebih dengan hadirnya AI, serangan ini makin lebih sulit dideteksi dengan insiden penipuan terkait deepfake meningkat 700% di sektor financial technology (fintech).
“Di Indonesia, tantangan penipuan digital telah meningkat dengan kasus-kasus penting seperti peretasan Bjorka yang membocorkan 34,9 juta data paspor Indonesia, dan perdagangan ilegal e-KTP kosong,” ungkapnya.
VIDA menyebut bahwa sederet insiden ini telah memperburuk risiko pencurian identitas dan penipuan, terutama di sektor-sektor seperti pinjaman online (pinjol) dan buy now pay later (BNPL).
“Penipu memanfaatkan pelanggaran data ini untuk melakukan transaksi tidak sah menggunakan dokumen palsu, yang menempatkan lembaga keuangan dan perusahaan multifinance pada risiko yang signifikan,” pungkasnya.