Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan kondisi geografis Indonesia yang terjal menjadi penyebab penetrasi internet tetap di Tanah Air belum merata.
Wilayah terjal membuat ongkos penggelaran menjadi mahal yang kemudian berdampak margin yang dibukukan pemain internet tetap.
Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam mengatakan bahwa mahalnya infrastruktur itu diakui oleh 30% pemain internet service provider (ISP), sebagaimana survei yang dilakukan APJII.
“Jadi infrastruktur yang harganya tinggi ini masih menjadi masalah di dalam pemerataan internet di Indonesia,” kata Zulfadly dalam acara The 6th Indonesia Internet Expo & Summit (IIXS) di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Zulfadly mengakui bahwa letak geografis Indonesia yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri yang berimbas pada mahalnya harga infrastruktur dalam pemerataan internet di Tanah Air.
“Nah, karena kompleksnya tingkat kesulitan itu sehingga harganya cenderung tinggi, ini yang harus bagaimana kita upayakan supaya infrastruktur tidak menjadi hambatan dalam penetrasi internet di Indonesia,” tuturnya.
Terlebih, Zulfadly menyampaikan bahwa penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 79,5%. Ini artinya, sudah ada 221 juta penduduk Indonesia yang melek internet dari total populasi sekitar 275 juta.
Berdasarkan Survei Internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII menunjukkan, tingkat penetrasi internet di Indonesia masih didominasi dari daerah perkotaan (urban) sebesar 82,18% dengan kontribusi mencapai 69,49%. Sedangkan penetrasi di daerah rural mencapai 74% dengan kontribusi hanya 30,51%.
Masih merujuk survei tersebut, mayoritas penetrasi internet masih dikuasai di wilayah Pulau Jawa, yakni sebanyak 83,64% atau berkontribusi sebesar 58,76%.
“Jadi kita masih punya PR bagaimana daerah-daerah rural, daerah-daerah tertinggal ini juga bisa mendapatkan koneksi internet,” ungkapnya.
Kendati demikian, Zulfadly menuturkan bahwa sebanyak 49% anggota APJII meyakini bahwa industri internet masih dalam tahap proses pertumbuhan (growing stage). Menurutnya, untuk membuat industri internet semakin kaya dengan interkoneksi dan kualitas yang baik, maka hal itu tak terlepas dari fiber optic.
“Karena ada yang meyakini juga, ini masih asumsi, bahwa sampai kiamat fiber optic masih yang terbaik saat ini. Ada yang meyakini fiber optic ini tumpuan untuk interkoneksi yang berkualitas tinggi, bukan bicara tentang satelit atau wireless,” ujarnya.
Di samping itu, Zulfadly menyampaikan bahwa implementasi koneksi Fiber to the Home (FTTH) di Indonesia juga masih di bawah 30%. Dengan kata lain, masih banyak rumah yang harus dikondisikan dengan jaringan internet.