Bisnis.com, JAKARTA - Biaya pengamanan untuk membangun base transceiver station (BTS) di daerah kahar disebut cukup mahal. Hal ini dikabarkan membuat Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) mengocek kantong yang lebih dalam untuk membangun internet di daerah rawan konflik.
Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) sempat menyebut biaya yang dihabiskan untuk membangun di daerah tertinggal, terdepan dan terluar dapat mencapai Rp600 juta - Rp1,5 miliar. Nilai bisa lebih tinggi tergantung pada kesulitan lokasi termasuk risiko keamanan.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef Matheus Edward mengatakan biaya pembangunan BTS di daerah kahar bisa 2 kali hingga 4 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan daerah biasa.
Ongkos bangun BTS Bakti menjadi lebih besar sebab pemerintah perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pengamanan, yang sebenarnya angkanya sulit diprediksi.
“Mahal, karena urusan nyawa. Asuransi jiwa juga siapa yang berani menanggung di daerah berisiko tinggi?” kata Ian kepada Bisnis, Senin (22/7/2024).
Ian menambahkan selain menyewa pengamanan, untuk mencapai lokasi kahar juga harus menyewa helikopter untuk mengangkut perangkat di daerah kahar. Pengangkutan barang dengan helikopter dia sebut lebih cepat dan minim risiko. Namun, konsekuensinya adalah biaya makin membengkak.
“Dibandingkan dengan di Jawa ongkos pembangunan bukan 1:1. jauh perbandingannya,” kata Ian.
Mengenai rencana relokasi, menurut Ian, dapat dilakukan mengingat daerah yang membutuhkan internet tidak hanya di daerah kahar. Banyak titik yang secara keamanan lebih baik, yang dapat dibangun jaringan internet.
Namun demikian, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan, kata Ian, saat ini masih terus mencari solusi untuk menghadirkan internet di daerah rural.
Starlink, pendapat Ian, belum tepat digunakan untuk saat ini. Banyak teknologi yang dapat dioptimalkan termasuk wahana dirgantara nirawak HAPS.
“Kami sedang mencari solusi, misal BTS ditaruh di atas High Altitude Platforms (HAPs). Starlink belum tentu mau memancarkan internet ke Papua. Mereka kan berbisnis bukan sosial,” kata Ian.
Utilisasi Satria Prioritas
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan dari perspektif teknologi, Starlink bisa jadi alternatif pilihan. Namun untuk konteks Bakti, mungkin perlu dipertimbangkan juga keperluan utilisasi Satria-1, karena investasi puluhan triliun yang sudah digelontorkan untuk Satria 1, jangan sampai disia-siakan.
“Jadi alangkah baiknya diprioritasnya Satria-1 terlebih dahulu,” kata Sigit.
Sementara itu untuk HAPs, kata Sigit, HAPS/HIBS salah satu pilihan yang ada di untuk non-terrestrial network (NTN). Perlu ada analisis kasus per kasus untuk menentukan layanan mana yang lebih cocok bagi wilayah di Papua.
“Kondisi lapangan seperti apa, kebutuhan layanan seperti apa, dan batasan-batasan lainnya yang ada. Makin banyak tersedia pilihan yang ada di Bakti, semakin terbuka peluang untuk memanfaatkan kelebihan dan tiap-tiap alternatif teknologi akses,” kata Sigit,