Regulasi AI yang Lebih Mengikat Dibutuhkan, Atur Penyedia hingga Masyarakat

Rahmad Fauzan
Rabu, 26 Juni 2024 | 16:25 WIB
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria (tengah) menerima rekomendasi kebijakan tata kelola AI dari Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar (kedua kanan)/ JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria (tengah) menerima rekomendasi kebijakan tata kelola AI dari Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar (kedua kanan)/ JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran regulasi yang lebih mengikat dinilai menjadi sebuah keharusan di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di Tanah Air.

Saat ini, penerapan AI di Indonesia baru mengacu pada surat edaran (SE) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Beleid yang dimaksud adalah SE Menkominfo Nomor 23 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Aturan itu menyantumkan sejumlah tanggung jawab penggunaan AI seperti pelindungan data, memastikan AI tidak dilibatkan dalam membuat keputusan menyangkut kemanusiaan, serta memerhatikan manajemen risiko dan krisis.

Mengacu kepada naskah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) berjudul Menginisiasi Regulasi Kecerdasan Artifisial, dijelaskan bahwa regulasi AI wajib mencakup prinsip-prinsip meliputi inklusifitas, kemanusiaan, keamanan, demokrasi, transparansi, pelindungan data, dan kesejahteraan lingkungan.

Menurut Peneliti Elsam Parasurama Pamungkas, prinsip-prinsip yang sudah tercantum di dalam SE No. 23/2023 pun perlu dinaikkan ke level yang lebih tinggi, yakni ke ranah peraturan, guna menjamin keamanan jutaan pengguna AI di Indonesia.

“Kami mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip di dalam surat edaran tersebut menjadi kewajiban-kewajiban,” kata Parasurama ketika menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk Menyiapkan Regulasi AI yang Bertanggungjawab dan Terpercaya Untuk Indonesia yang diselenggarakan Bisnis Indonesia di Jakarta, Rabu (26/6/2024).

Terdapat beberapa poin yang disorot. Di antaranya poin pengarusutamaan etika; pemetaan aktor yang meliputi penyedia, pengguna, dan masyarakat; penggagasan profil risiko; hingga kewajiban transparansi.

Dengan demikian, SE saja dinilai belum cukup. Regulasi AI yang lebih kuat diperlukan guna mengimbangi perkembangan kebutuhan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia terhadap teknologi tersebut.

Mengacu kepada hasil survei Microsoft bertajuk Indeks Kinerja Microsoft Tahun 2024 di 31 negara, sebanyak 92% responden mengatakan sudah menggunakan AI dalam pekerjaan sehari-hari.

Kemudian, sekitar 48% mengaku memerlukan bimbingan demi memaksimalkan AI; 92% ingin AI meningkatkan daya saing bisnis; dan 69% hanya akan mengontrak pekerja yang fasih menggunakan teknologi AI.

Director Government Affairs Microsoft Indonesia & Brunei Darussalam Ajar Edi menjelaskan masifnya adopsi AI di perusahaan-perusahaan swasta global tidak terlepas dari potensi ekonomi yang juga tidak kalah besar dari teknologi tersebut.

“Di Indonesia, nilainya hampir US$300 miliar untuk 2030. Jadi, angkanya besar, lalu sekarang sudah akselerasi, dan beberapa pemain global sudah investasi termasuk Microsoft di sektor data center dan AI,” kata Ajar.

Manfaat Optimal

Sementara itu, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mendorong pemangku kepentingan Indonesia untuk menggali kebijakan afirmatif dapat memanfaatkan teknologi AI dengan optimal. 

Nezar menilai pengembangan teknologi AI memberikan peluang bagi negara-negara Global South termasuk Indonesia. Selain, dapat menjembatani kesenjangan digital, pemanfatan AI dalam sektor ekonomi juga dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi usaha.

"Dan kita saksikan sekarang adopsi AI banyak sekali dilakukan oleh korporasi-korporasi mulai dari customer service sampai dengan pengolaan data, baik untuk kepentingan marketing, produksi, dan lain sebagai macamnya," ujarnya.  

Mengutip data Tim Riset Microsoft Quantum, Nezar menunjukkan keberhasilan teknologi AI untuk memproses screening 32 juta material komputer kuantum secara radikal dan cepat. Namun demikian, Nezar Patria mengingatkan ada kendala yang dihadapi negara Global South seperti keterbatasan infrastruktur AI, pendanaan, dan keterbatasan transfer of knowledge dari negara pengembang AI di Global South yang memicu kesenjangan  kapasitas sumberdaya manusia. 

“Transfer of knowledge dalam arti bagaimana bisa masuk lebih jauh ke dalam global supply chain dalam produksi ini kelihatannya menjadi tantangan untuk ke depan agar kita tidak hanya menjadi pasar saja untuk pengembangan AI ini," tuturnya. 

Nezar optimistis Indonesia akan mampu beradaptasi dan memodifikasi inovasi eksisting seperti teknologi AI, Indonesia dapat berperan sebagai negara pengembang AI di tingkat global. Termasuk menjadi hub untuk pengembangan semi konduktor untuk teknologi AI di level regional seperti Malaysia.

"Jika secara konsisten menekankan pelaksanaan transfer teknologi dan transfer pengetahuan, ini penting sekali saya kira dalam strategi pengembangan AI ke depan," tandasnya. 

Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper