Bisnis.com, JAKARTA — Kehadiran Starlink diyakini dapat mendongkrak peringkat kecepatan internet Indonesia di global yang saat ini masih terpuruk di posisi 100 ke atas. Hanya saja, tidak terlalu signifikan.
Berdasarkan data Speedtest Global Index, dikutip Jumat (10/5/2024), Indonesia berada pada peringkat ke-103 di dunia untuk kecepatan rata-rata internet koneksi mobile. Turun dari posisi ke-97 pada Desember 2023. Sementara itu untuk fixed mobile, Indonesia urutan ke 128.
Kecepatan rata-rata unduh (download) hanya sebesar 25,83 Mbps dan unggah (upload) 12,54 Mbps, serta latensi 26 milidetik (ms).
Sementara itu, kecepatan rata-rata internet fixed broadband Indonesia berada di urutan ke-128, turun dari peringkat ke-126 pada akhir 2023. Kecepatan unduh dan unggah masing-masing sebesar 29,37 Mbps dan 18,04 Mbps dengan latensi 7 ms.
Jika dilihat berdasarkan kinerja global, kecepatan rata-rata internet mobile sebesar 52,98 Mbps (download) dan 11,48 Mbps (upload). Sedangkan untuk fixed broadband sebesar 93,28 Mbps (download) dan 45,46 Mbps (upload) pada Maret 2024. Artinya, Indonesia berada di bawah rata-rata kecepatan internet global.
Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan bahwa secara umum, masuknya Starlink ke Tanah Air bisa meningkatkan kecepatan internet meski tak signifkan.
Sebab, lanjut Tesar, harga yang ditawarkan terlalu mahal untuk pasar ritel yaitu hingga Rp750.000 per bulan. Sedangkan, pasar yang diincar adalah rural area dan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Namun, lanjut dia, jika Starlink digunakan untuk perkantoran atau UMKM di rural area maka harga layanannya termasuk ramah di kantong.
“Ini membantu [meningkatkan kecepatan internet Indonesia], tetapi bukan masuk ke ritel rumah karena harganya yang terlalu mahal,” kata Tesar saar dihubungi Bisnis, Jumat (10/5/2024).
Meski Starlink masuk, Tesar menjelaskan bahwa kecepatan internet Indonesia juga tergantung dari jumlah pengguna. Menurutnya, jika pengguna Starlink sedikit, maka tidak akan berpengaruh terhadap kecepatan internet di Tanah Air.
“Menurut saya, kalau mau dongkrak kecepatan internet Indonesia, minimal 20 juta–50 juta pengguna Starlink dan itu butuh waktu,” ujarnya.
Dengan perkiraan 50 juta pengguna Starlink, Tesar menyampaikan bahwa kecepatan internet di Indonesia setidaknya bisa naik menjadi 30–50 Mbps.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan bahwa dengan harga langganan senilai Rp750.000 dan perangkat yang dipatok Rp7,8 juta, maka satelit internet ini menyasar ke segmen pengguna menengah ke atas.
Jika dilihat dari sisi kecepatan yang diklaim jauh di atas rata-rata keceparan selular eksisting, Sigit menuturkan bahwa segmen pasar tertentu tersebut kemungkinan menjadi kompetitor bagi operator selular.
“Apakah akan meningkatkan layanan internet rural lebih baik? Belum tahu, masih terlalu dini untuk menjawab. Karena ketika semakin banyak pelanggan, seperti apa kualitas layanannya masih perlu dibuktikan di lapangan,” kata Sigit kepada Bisnis.
Sigit menambahkan bahwa terdapat pro dan kontra terkait Starlink, termasuk aspek kedaulatan, aspek keberpihakan kepada industri dalam negeri, dan aspek kesehatan persaingan usaha. “Sementara yang pro, sepertinya lebih mengedepankan aspek investasi,” tandasnya.
Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam mengatakan bahwa Starlink hanya menjadi solusi infrastruktur di wilayah rural area Indonesia.
“Sebagai solusi rural, Starlink secara teknologi sangat mendukung kecepatan internet Indonesia. Jadi pasti akan ada perkembangan baik di daerah rural,” kata Zulfadly kepada Bisnis, Jumat (10/5/2024).
Zulfadly mengatakan, jika Starlink digunakan di daerah urban yang memiliki ketersediaan fiber optic yang lebih cepat, maka satelit ini bukan solusi komprehensif untuk meningkatkan kecepatan internet Indonesia.
Untuk di daerah urban, lanjut dia, Starlink akan dimanfaatkan reseller sebagai koneksi backup.
Harga layanan Starlink sendiri dipatok mulai dari Rp750.000 per bulan, terbilang mahal jika dibandingkan dengan paket internet lokal yang beredar di Indonesia. Pengguna juga masih harus merogoh kocek untuk membeli perangkat keras sebelum menikmati layanan internet Starlink mulai dari Rp7,8 juta.
Namun Zulfadly juga mengingatkan pemerintah bahwa Starlink harus diawasi dengan ketat agar tidak disalahgunakan. Ada kekhawatiran layanan internet cepat itu digunakan untuk komunikasi bandar judi di pedalaman.
“Bisa jadi kalau pengawasannya tidak bisa dilakukan pemerintah, koneksi Starlink ini akan mudah dipergunakan secara khusus oleh bahkan bandar narkoba dan bandar judi karena bisa diakses secara mudah,” ujarnya.
Untuk itu, Zulfadly menyampaikan bahwa pemerintah memiliki tugas mengatur agar kehadiran Starlink tidak dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan seperti trafficking, peredaran narkoba, bandar judi, fraud, maupun kejahatan lainnya.
“Karena pemerintah bukan cuma kasih izin setelah itu selesai. Tanpa bisa mengawasi, pemerintah akan masuk ke babak baru dalam masalah teknologi,” katanya.
Zulfadly mengatakan bahwa penting bagi pemerintah dan APJII harus saling bahu-membahu untuk mempelajari dampak Starlink milik Elon Musk.
“Membuat masyarakat rural melek internet adalah pekerjaan rumah kita. Tetapi jangan sampai begitu melek, malah meleknya terhadap kejahatan internet, bukan melek terhadap produktivitas,” ujarnya.