Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dan Malaysia tengah berebut pangsa pasar pusat data (data center) pascamoratorium pembangunan data center di Singapura. Malaysia dinilai lebih unggul karena lebih ramah terhadap investor global yang ingin membangun data center.
Ketua Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) Hendra Suryakusuma menilai potensi pasar imbas moratorium ini belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah dan data center Indonesia.
“(Peluang moratorium Singapura) yang saat ini digarap dengan sangat baik oleh Johor Bahru ya,” ujar Hendra kepada Bisnis, Rabu (10/1/2024).
Menurut Hendra, hal ini disebabkan pemerintah di Malaysia sangat peduli pada investasi di Johor Bahru. Hendra mengatakan, ketika ada perusahaan asing yang ingin menaruh datanya di sana, akan sangat dimudahkan oleh pemerintah setempat.
Selain itu, kata Hendra, di Malaysia, bisnis juga menjadi makin mudah karena perizinannya yang tidak rumit dan adanya insentif.
“Jadi di sanalah peranan pemerintah untuk memudahkan pelaku data center besar dunia masuk,” ujar Hendra.
Sementara itu, hal yang cukup berbeda ditemukan di Indonesia.
Menurut Hendra, untuk membangun sebuah data center, tidak hanya membutuhkan izin mendirikan bangunan (IMB) melainkan juga persetujuan bangunan gedung (PBG) yang membutuhkan gambar detail bangunan.
Selain itu, saat membangun data center, Hendra kerap berhadapan dengan ormas-ormas di lapangan. “Jadi, kompleksitasnya lebih lucu lah kalau di Indonesia ya. Banyak faktor X yang tidak terduga. Mau nurunin barang juga dipalakin, preman-pereman setempat gitu,” ujar Hendra.
Alhasil, perusahaan internasional juga harus berpikir dua kali untuk investasi data center di Indonesia.
Menurut Hendra, perusahaan EdgeconneX di Indonesia hanya membuat data center berkapasitas 56 MW. Namun, di Johor Bahru mereka membuat data center yang lebih besar, yakni 95 MW. Begitupula dengan Princeton Digital Group yang membuat hingga 200 MW data center di Johor Bahru.
Adapun untuk regulasi onshore data center atau kewajiban perusahaan harus menaruh data masyarakat di Indonesia yang pastinya dapat menguntungkan data center dalam negeri juga kerap mengalami maju mundur.
Sebagai informasi, sempat dibuat Peraturan Pemerintah No.82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang mewajibkan lokalisasi data center. Namun, regulasi inipun berubah menjadi PP No.71/2019 yang menyatakan bahwa data masyarakat Indonesia boleh diletakan di luar negeri.
Adapun pada pertengahan November 2023, Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi sempat mengatakan penyimpanan data pribadi masyarakat harus di dalam negeri dan data akan menjadi milik pemilik data.
Budi nantinya akan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang menyatakan penyimpanan data elektronik dapat dilakukan di luar negeri.
Namun, pada Desember 2023, Budi menegaskan isu terkait perusahaan asing yang diharuskan untuk melokalisasi data center tidak terjadi.
Menurutnya, ucapannya yang sebelumnya dimaksudkan untuk sentralisasi data center bagi sektor pemerintahan. Hal ini dilakukan dengan cara membangun Pusat Data Nasional yang berlokasi di Cikarang, Batam, dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Alhasil berdasarkan data IDPRO, total penggunaan data center di Indonesia per Maret 2023 hanya sebesar 48%. Walaupun memang perlu diakui pada akhir 2023 terjadi lonjakan penggunaan data center.
“Artinya, kebutuhan data center itu sebenarnya masih bagus ya, karena masih tinggi lah,” ujar Hendra.