Bisnis.com, JAKARTA - Nilai keamanan siber Indonesia relatif masih rendah di Asia Tenggara dan global. Tim Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Gibran pun menargetkan agar nantinya setiap lembaga memiliki tim khusus yang menangani keamanan siber.
Merujuk pada data National Cyber Security Index (NCSI) September 2023, secara global, nilai indeks keamanan siber Indonesia menempati peringkat ke-49 dari 176 negara, dan urutan ke-4 di Asia Tenggara, di bawah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Posisi itu menandakan bahwa Indonesia belum optimal dalam melindungi ruang siber dari berbagai aspek, seperti hukum, kebijakan, organisasi, kapasitas, kerja sama, pendidikan, dan kesadaran menurut NCSI. Indonesia tertinggal dari tetangga, Malaysia.
NCSI adalah sebuah indeks yang dibuat oleh e-Governance Academy Foundation, sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Estonia. NCSI juga membuat penilaian dari bukti-bukti publik, seperti situs resmi pemerintah atau program lain yang terkait.
Adapun untuk memperkuat keamanan siber Indonesia, Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran Budiman Sudjatmiko mengatakan pihaknya akan memperkuat tim khusus ini akan menjalankan Standard Operation Procedure (SOP) sesuai dengan standar internasional dan bekerja sama dengan Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
“Dibangun sistem pengelolaan keamanan siber yang menerapkan pengamanan siber yang sesuai standar internasional dari hulu ke hilir dari perangkatnya, sistemnya, dan manusia,” ujar Budiman kepada Bisnis, Senin (8/1/2024).
Dengan demikian, diharapkan semua persiapan ini dapat membuat integrasi keamanan siber yang menyeluruh.
Sebagai informasi, sepanjang 2023 banyak terjadi kasus serangan siber, baik yang menimpa instansi pemerintah maupun data pribadi masyarakat.
Salah satu contoh serangan pada pemerintah adalah bocornya data BPJS Ketenagakerjaan, Dukcapil, KPU, hingga diretasnya laman DPR RI.
Lebih lanjut, Budiman mengatakan pasangan calon Prabowo-Gibran juga akan membangun sistem firewall nasional yang tangguh. Adapun firewall itu akan dilengkapi mesin superkomputer yang juga dilengkapi sistem AI Self Learning yang dapat mendeteksi serangan sejak adanya anomali sinyal.
Lanjutnya, firewall ini nantinya akan melindungi jaringan internet dari udara ataupun darat, seperti satelit, fiber optic, WiFi, hingga jaringan milik operator.
“Sehingga kita memiliki lapisan-lapisan keamanan bertingkat yang saling memperkuat satu sama lain,” ujar Budiman.
Budiman pun berharap dengan adanya solusi ini, masalah siber akan dapat sepenuhnya teratasi dan tidak terjadi lagi di masa depan. Namun, dengan syarat, seluruh organisasi yang terkait bisa bersatu, sepakat, dan wajib melaksanakan pengamanan siber secara komprehensif.
Kendati demikian, Budiman tidak menutup kemungkinan adanya teknologi baru yang akan hadir, sehingga pemerintah harus tetap berinovasi untuk mengantisipasi serangan siber model terbaru.
“Kalau perlu kita punya kendali kuat atas implementasi teknologi tersebut,” ujar Budiman.
Diketahui secara total serangan, malware jenis ransomware merupakan jenis serangan yang paling banyak mengganggu masyarakat, yakni sebanyak 82,72% atau 3.273 kasus.
Berdasarkan data dari Vaksincom, ransomware menjadi jenis malware yang paling banyak digunakan karena aksinya yang tidak dapat terdeteksi.
Malware jenis ini bisa menginfeksi komputer dan mengenkripsi data korbannya, tetapi setelah beraksi, dia dapat langsung menghapus semua jejaknya. Adapun jika memang ada jejak yang tertinggal, virus ini mampu untuk mengubah identitasnya setiap kali menjalankan aksinya.
Diketahui, jenis ransomware yang paling banyak terdeteksi pada 2023 dipimpin oleh Trojan dengan 32,45% atau sekitar 1.283 kasus. Jenis ransomware yang satu ini dapat menyerang komputer dengan menyamar sebagai program atau sistem operasional resmi.