Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai upaya pemerintah dalam memeratakan akses internet belum selesai. Pekerjaan baru para pengganti Jokowi masih besar dan disarankan untuk menggunakan teknologi terbaru untuk mendorong akses internet yang lebih merata.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan pemerataan jaringan internet merupakan suatu pekerjaan yang akan terus berjalan. Tidak selesai pada kehadiran Satelit Satria-1 dan base transceiver station (BTS) di ribuan titik.
Penerus Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu memikirkan cara paling efektif dalam mendorong pemerataan jaringan internet, termasuk dengan menggunakan wahan dirgantara High Altititude Platform System (HAPS).
“Contoh kita yang berada di kota. Kita sudah lama mendapat sinyal seluler (internet) apa cukup? begitu dapat internet, kita minta 4G,” kata Sigit, di sela-sela acara Urgensi Regulasi OTT Demi Mengembalikan Kesehatan Industri Selular, Rabu (27/12/2023).
Sigit menambahkan untuk negara sebesar Indonesia, sangat tidak masuk akal hanya menggunakan satu teknologi untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan digital.
Dengan melihat pengembangan jaringan internet di Amerika Serikat, kata Sigit, beberapa teknologi dilibatkan untuk membangun jaringan internet termasuk menggunakan HAPS.
“Jika dengan infrastruktur mobile broadband masih mahal, berikutnya misalnya dengan menggunakan satelit atau HAPS. Secara teknologi HAPS sudah terbukti di beberapa negara sudah diujicobakan. Bahkan saya dengar di AS, Rwanda, dan Arab Saudi digunakan untuk 5G. Tetapi pertanyaannya secara bisnis dan regulasi bagaimana? ” kata Sigit.
Hasil sidang World Radiocommunication Conference (WRC) 2023 memutuskan wahana dirgantar super atau High Altitude Platform Station (HAPS) dapat beroperasi di Indonesia. Teknologi yang digadang-gadang sebagai base transceiver station (BTS) terbang itu tengah dikembangkan oleh raksasa keuangan Jepang Softbank dan Avealto.
WRC menyatakan HAPS dapat beroperasi di Indonesia dengan menggunakan empat frekuensi di pita 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz. Keempat frekuensi tersebut memiliki ekosistem 4G yang matang di Indonesia.
HAPS nantinya dapat mengangkut base transceiver station (BTS) 4G di ketinggian 18 km-25 Km (stratosphere) atau lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian satelit orbit rendah, seperti Starlink, yang sekitar 550 km.
Penempatan BTS di udara ini menjadi tahap lanjut perihal pengoperasian BTS, yang selama ini cenderung diletakan di tanah dan menempel dengan menara telekomunikasi. Maka, tidak heran jika HAPS kemudian disebut sebagai BTS terbang.
Dilansir dari Satnews, Softbank telah melakukan uji coba lapangan menggunakan antena silinder siap 5G pada Desember 2023.
Bagian dari uji coba lapangan ini didasarkan pada proyek penelitian “Teknologi Optimasi Area Dinamis Menggunakan CPS untuk Platform Udara”, yang dipilih dan ditugaskan oleh Institut Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi (NICT) di Jepang untuk “Proyek Promosi Penelitian dan Pengembangan Beyond 5G”.
Sunglider, sistem pesawat tak berawak (UAS) SoftBank yang dikembangkan untuk HAPS, dapat mencakup area luas hingga diameter maksimum 200 km. Jangkauan tersebut diklaim setara dengan jangkauan 400 BTS di pita 900 MHz - 2,6 GHz di bumi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meresmikan 4.988 unit base transceiver station (BTS) di Talaud, Sulawesi Utara.
Dengan demikian, hampir semua BTS yang sempat terkena skandal korupsi dan ditargetkan rampung pada 2024, sudah selesai dibangun.
Diketahui, secara total masih ada 630 BTS yang mayoritas berada di Indonesia bagian timur akan diselesaikan menyusul.