Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai High Altitude Platform Station (HAPS) atau yang disebut sebagai base transceiver station (BTS) terbang belum teruji di Indonesia, sehingga berisiko gagal saat diimplementasikan. Teknologi serupa pernah dikembangkan Google dan berujung kesia-siaan.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan operator sudah pernah menandatangani kerja sama dengan Google yang didorong oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menerbangkan HAPS Google, Google Loon.
Namun, uji cobat tersebut berujung sia-sia. Heru menilai hal serupa juga akan terjadi di HAPS.
“Tidak ada satu pun balon Google yang diterbangkan di Indonesia. Artinya, secara model bisnis masih ada kendala dan perlu dihitung dengan matang,” ujar Heru kepada Bisnis, Selasa (26/12/2023).
Diketahui, Google Loon sudah tutup pada 2021 dan hak patennya saat ini sudah diakuisisi oleh SoftBank. Sementara itu, baru-baru ini Softbank baru berhasil melakukan uji coba HAPS dan mengoptimasi area cakupan dari teknologi baru ini.
Lebih lanjut, Heru mengatakan kendala lainnya dari pengoperasian BTS terbang ini adalah potensi adanya delay sehingga kapasitas internet yang dipancarkan terbatas. Alhasil, jika memang perlu ada kapasitas yang besar, harus ada banyak HAPS.
Sementara, lanjut Heru, harga HAPS juga tidak murah, belum lagi perawatan infrastruktur yang perlu dilakukan.
Kemudian, untuk wilayah 3T dan timur Indonesia yang disebut kurang dalam hal penetrasi internet, Heru mengatakan, sudah ada Satria-1 yang siap mengatasi masalah tersebut. Adapun jika memang dianggap kurang, Satria-2 juga akan membantu.
Oleh karena itu, Heru menyarankan pemerintah untuk melakukan uji coba di beberapa tempat dan frekuensi terlebih dahulu, sehingga dampak dari HAPS ini bisa terlihat dengan lebih jelas.
“Ini agar dapat dipelajari kelebihan dan kekurangan teknologi HAPS nya maupun apa yang harus disiapkan seperti regulasi, alokasi frekuensi, jika teknologi ini diadopsi,” ujar Heru.
Selain itu, dengan adanya uji coba tersebut, kata Heru, pemerintah baru dapat menilai apakah HAPS ini benar-benar diperlukan dan dapat menjadi solusi permasalahan internet di Indonesia.
Sebagai informasi, World Radiocommunication Conference (WRC) 2023 memutuskan wahana dirgantara super atau High Altitude Platform Station (HAPS) dapat beroperasi di Indonesia dengan menggunakan empat frekuensi di pita 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz.
HAPS nantinya dapat mengangkut base transceiver station (BTS) 4G di ketinggian 18 km-25 Km (stratosphere) atau lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian satelit orbit rendah, seperti Starlink, yang sekitar 550 km.
Penempatan BTS di udara ini menjadi tahap lanjut perihal pengoperasian BTS, yang selama ini cenderung diletakan di tanah dan menempel dengan menara telekomunikasi. Maka, tidak heran jika HAPS kemudian disebut sebagai BTS terbang.