Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi mengungkap teknologi Taara belum teruji di Indonesia. Implementasi teknologi tersebut masih sangat jauh, khusus di Tanah Air yang memiliki curah hujan cukup tinggi dan kondisi geografis menantang.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward membeberkan sejumlah peluang sekaligus tantangan terkait penggunaan teknologi Taara untuk memperluas penetrasi internet di Indonesia.
Teknologi Taara, yang menggunakan cahaya sebagai media pengiriman data, diklaim mampu memberikan kecepatan tinggi dan ideal digunakan pada berbagai medan. Namun, menurut Ian, pemanfaatan cahaya memiliki karakteristik khusus, yakni memerlukan line of sight. Artinya infrastruktur koneksi harus dipastikan mulus tanpa ada benda yang menghalangi, bahkan pohon pun dapat menjadi kendala.
“Untuk daerah perkotaan yang gedungnya tinggi-tinggi, teknologi ini bisa diterapkan asalkan tidak ada gangguan di lintasan cahaya. Tetapi untuk wilayah kepulauan atau lintas laut, kurang cocok karena adanya lengkung bumi,” kata Ian kepada Bisnis, Senin (28/7/2025).
Dia menambahkan, walaupun teknologi ini disebut tahan terhadap hujan, perlu ada pembuktian lebih lanjut apakah benar cahaya tidak akan terbias, terpantul, atau terganggu oleh hujan deras.
Sejauh ini, Ian belum melihat laporan yang menyebut teknologi Taara stabil terhadap hujan.
Menurut laman resmi, Taara memanfaatkan pancaran cahaya untuk mentransmisikan data dalam jumlah besar antara dua terminal ringkas. Sistem dua cermin yang dipadukan dengan algoritma prediktif menjaga agar pancaran cahaya tetap sejajar dengan presisi tinggi.
Taara Lightbridge diklaim dapat mentransfer data secepat cahaya, menghadirkan komunikasi dua arah yang mulus untuk konektivitas berperforma tinggi dengan kecepatan 20 Gbps.
Teknologi ini disebut mampu menjangkau jarak hingga 20 kilometer dengan aman, sambil menjaga koneksi tetap stabil dan andal.
Dengan konsumsi daya setara lampu bohlam yakni 40 W, perangkat ini dapat dipasang hanya dalam hitungan jam tanpa perlu menggali tanah, mengurus lisensi spektrum, atau izin jalur. Taara disebut memberikan konektivitas dengan keandalan 99,99%.
Jika dibandingkan dengan teknologi gelombang mikro atau satelit, menurut Ian, keandalan Taara pada berbagai kondisi cuaca dan waktu masih harus diuji secara komprehensif.
“Jika ada inovasi yang bisa menjaga performa transmisi cahaya pada segala cuaca, perlu dibuktikan lebih baik daripada gelombang mikro. Ini berbeda dengan teknologi cahaya dalam medium khusus seperti fiber optik yang sudah terbukti andal untuk jarak jauh,” kata Ian.
Menanggapi kemungkinan penggunaan pada perangkat bergerak seperti balon udara, Ian menyebutkan cahaya pada dasarnya sangat terarah pada pola radiasi yang sempit. Akan baik jika perangkat tetap di posisi, tapi jika balon udara bergerak, kualitas stabilitas koneksi bisa menurun dibanding gelombang mikro.
Menurutnya, uji lapangan menjadi kunci. Pengalaman penggunaan cahaya di udara terbuka untuk telekomunikasi bukan hal baru, “tapi seringkali hasil di lapangan tidak sesuai ekspektasi di laboratorium.”
Dia juga berpendapat bahwa teknologi ini belum dapat menggantikan satelit karena sifat cahaya yang sangat sensitif.
Ian menyoroti fenomena indeks bias di udara yang bisa membuat cahaya terhambur atau terbias, kecuali lintasannya benar-benar tegak lurus tanpa ada polusi atmosferik atau perubahan suhu ekstrem. Karena itu, dia menyarankan agar pendekatan teknologi cahaya maupun radio, seperti praktik di BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), dipadukan untuk perolehan hasil optimal.
“Jika pada ruang udara terbuka, cahaya dapat digunakan sebagai salah satu pilihan masih bisa. Hanya untuk menggantikan seperti satelit. Masih belum,” kata Ian.